Kondisi Nyata Dibalik Kehidupan Jakarta
Jakarta 13 November 2010 – Dibalik kerenungan, sambil menatap kondisi Jakarta, kini pun terbandingkan Jakarta di 7 tahun yang silam dan Jakarta di masa kini. Kepurukan pun sungguh terlihat semakin pesat pertumbuhannya. Kepurukan itu pun mulai dari jalan yang begitu macet, sampai pada ketidak pedulian terhadap sesama. Para lantas pun mudah dibayar seharga rupiah, sehingga nilai kepolisian pun puruk di mata kehidupan masyarakat di Jakarta. Nuansa Keacetan pun terkesan menjadi hambatan. Tak memiliki kepedulian pun menipis kasih akan sesamanya.
Jakarta selalu diidentikan dengan Indonesia. Hal itu terjadi karena pusat atau sentral yang kemudian sering disebutkan bahwa Ibu Kota Dari Negara Indonesia adalah Jakarta. Jakarta juga selalu menjadi cermin dan patokan dari Indonesia. Dimana seluruh departemen berjejeran di jakara, kantor kepresidenan pun terletak di Jakarta.
Jalan Macet Menghambat Kemajuan
Pada tanggal 7 oktober 2010, ketika saya harus melintasi dari Jakarta barat ke Jakarta Pusat (Grogol-Salembah Raya), tepatnya pukul 18.00, tanpa terbayangkan bahwa begitu macetnya kota Jakarta karena kendarahan yang bertumpukkan. Perjalanan saya kemudian pun menghabiskan waktu 3 jam. Yang sesungguhnya, sebelumnya di 7 tahun yang lalu, saya hanya bisa berjalan hanya 30 menit. Suasana macet itu kemudian juga menghambat tingkat kesibukan manusia, yang berefek pada terjadinya kegagalan pembangunan.
Pemerintahan tata kota DKI pun terlihat mengabaikan hal itu. Ketika saya pun hendak bertanya sama seseorang yang duduk di samping saya tentang kondisi Jakarta yang macet itu, dengan simpelnya, ia pun menjawab “Jakarta ini sudah semakin susah, sudah macet, tapi tidak ada penertiban kendaraan, sehingga, yang iskin jadi miskin dan kaya pun jadi kaya”. Saya hanya diam termenung mendengar jawaban itu. Dalam ketermenungan, ada sebuah pikiran yang mekintasi benah saya, dimana lintasan itu berkata, jika di pusat Negara saja tidak tertib begini, bagimana dengan daerah dan itu khususnya di Papua? Kapan Daerah bisa maju jika pusat yang seharusnya menjadi cerminan saja, tata kotanya hancur berantakan…?
Kini menyedihkan, karena efek dari kemacetan, akan melahirkan pembangunan yang lambat dan tidak menutup kemungkinan mengalami kemunduran. Dan jika pembangunan mengalami kemunduran, maka lahirlah angka pengangguran yang meningkat. Jika pengangguran pun kian meningkat, maka kemiskinan akan menjadi tinggi, yang berakitbat fatal dalam hubungan sosial kemasyarakatan.
Hal itu pun kini terlihat dengan kondisi kehidupan manusia di Jakarta yang tidak perduli akan sesamanya yang lain. Dan ini akan melahirkan kecemburuan sosial, kemudian iri hati dan dungkuh kepada sesamanya, karena nilai sosial pun dilunturkan karena individualisme yang tinggi.
Ketidak Pedulihan Terhadap Sesama
Dalam diskusi saya dengan seorang penjual minuman siprite, fanta, frutang, cocacola, aqua dan lain-lain di terminal Pulo Gadung, yang bernama Bapak Tirto, yang kini memiliki 3 orang anak, pada 10 November 2010 yang lalu, tepatnya pukul 20.00-22.00, ia pun mengatakan bahwa “nak, kehidupan di Jakarta ini semakin susah. Satu orang ke orang yang lain pun terlihat ada kelas dan jarak. Tak memiliki sedikit hubungan kekerabatan. Selain itu, kami pun susah. Hanya untuk hidup saja susah. Aku nih memiliki 3 orang anak, yang tua udah sudah SMK kelas 2 di Cirebon. Kami bingung dengan pemerintah ini.” Sungguh menyedihkan melihat dan mendengarkan suara seorang Bapak Tua yang jauh dari keluarganya hanya tuk mencari nafkah tuk membiayai anaknya-anaknya yang sedang menjenjang bangku pendidikan tapi juga menghidupi nafka mereka.
Bapak Tirto ini pun selalu membaringkan badannya di terminal Pulo Gadung dengan beralaskan Koran. Itu lah hidup, sering menyakitkan, namun juga menyedihkan bagi mereka yang hidupnya sebagai pemulung, pedagang dan pengamen. Tak sedikit pun sentuhan disentuhkan pada kehidupan mereka. Ada juga pandangan yang hendak mengatakan bahwa hal itu terjadi karena kemalasan mereka. Ada juga yang berpandangan bahwa itu karena kekurangan mereka. Dan masih juga yang berpandangan kalau mereka memang dilahirkan sedemikian.
Namun sesungguhnya itu menjadi tanggungjawab peerintah. Pemerintah harus mampu memperhatikan keluhkesa mereka. Pemerintah juga harus berkewajiban atas warga negaranya. Namun saying, fungsi kepemerintahan tidak terlihat dalam kehidupan rakyat jelata. Terkesan peerintah hanya mau agar rakyat menjamin kesejahteraan pemeritah, bukan peerintah menjamin kesejahteraan rakyatnya. Sehingga ketika peerintah terlhat sejahtera, rakyatnya diabaikan dan malah terkesan tertindas karena tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil.
Dilain persoalan, dalam konteks kebersamaan sebagai sesama pun tidak terlihat nilai kesosialannya sebagai sesame manusia yang sama, yang memiliki nilai social. Banyak orang yang pulang kerja melintasi para pedagang, namun tak seorang pun yang memberikan senyum kepada para pedagang sebagai sesamanya. Masker dan kecuekan selalu menempeli wajah mereka. Nilai kasih pun terlihat susah di kehidupan Jakarta. Seakan kasih hanya sebatas rupiah yang bisa diperjual belikan. Sungguh mencekam kehidupan ini, memandang wajah yang hanya penuh munafik.
Sungguh, ironis, melihat situasi yang melahirkan dosa dibalik kehidupan durhaka. Kini hanya ada penantian akan sebuah perubahan tatanan sosial yang kini hancur ditelan situasi. Para keamanan, seperti polisi pun kini terlihat berlaga preman.
Lantas Dibayar Rupiah, Kepolisian Terlihat Tak Bermartabat
Polosi lalulintas dilihat sebagai polisi yang selalu menertipkan arus lalu lintas. Bagi yang salah sudah sepatutnya dihukum. Itulah tugas Polisi Lalulintas di seluruh dunia. Namun hal itu bedah dengan lantasnya Indonesia. Di Indonesia, lantas identik dengan rupiah. Lantas juga muda dibayar. Mudanya lantas dibayar seharga rupiah itu pun terlihat dikalah saya melintasi kota Jakarta Selatan ke Jakarta Barat (dari Mampang Ke Grogol) pada tanggal 8 november 2010, pukul 20.00 malam hari, dengan memakai Bus 46 tujuan UKI-Grogol.
Peristiwa itu terjadi dikalah, sopir yang mengendarai kendaraan yang saya tumpangi melintasi jalan disaat lampu merah di kuningan Jakarta Selatan menyalah dan berhenti di tempat yang tidak sepatutnya dihentikan. Karea melihat kondisi itu, lantas memberhentikan bus itu, namun dengan cepatnya kenek/kendektur (orang yang menagi uang angkot di bus) dari bus itu menggulingkan rupiah, entah berapa jumlahnya, dengan mudahnya lantas itu membiarkan bus itu berjalan dan lantas pun memasukan uang itu ke dalam sakunya.
Selintas suara penumpang pun berkumandang serentak dan mengatakan bahwa, “Polisi muka duitan, polisi ko mudah dibayar”. Itulah kondisi di Jakarta. Jika keamanan yang penegak hukum saja mudah dibayar, bagi mana dengan yang lainnya?
Apakah semua pun mudah dibayar seharga rupiah?
Apakah nyawa manusia juga mudah dibayar?
Bagi mana nasib bangsa Indonesia, jika Polisi saja mudah dibayar?
Awal kehancuran bangsa ini terlihat dikalah situasi pun terlihat rapuh dan menuju kearah ketertinggalan yang begitu besar dan parah. Pancasila pun hanya terlihat sebatas slogan yang aplikasinya tidak seperti yang dipikirkan. Konstitusinya pun terlihat dilecehkan dengan situasi yang sedang terjadi, akibat munculnya kepentingan pribadi yang memojokan kepentingan bersama.
Kini hanya penantian, akankah Indonesia menuju ke arah kehancuran ataukah ke arah perbaikan, dimana setiap pengambil kebijakan sampai pada pelaksana kebijakan tidak perna diganti.
Rakyat Indonesia diajak hanya untuk bermimpi menanti ketidak pastian dalam kehidupan, yang sesungguhnya memperpanjang proses penderitaan mereka.
Oleh : Marthen Goo