Kamis, 12 Agustus 2010

GEREJA DIANGGAP DILECEHKAN MILITER


Nilai Keimanan Seharga Rupiah, Kekuasaan Memenjarah Kebenaran


Kamis, 12 Agustus 2010

Jayapura- Parah Tokoh Gereja kini menjadi bingung dengan posisi Militer di Indonesia, khsusnya di Papua. Kefungsian dan ketugasan pun dinilai tak bermakna. Dalam jumpa kami dari individu Tokoh ke Tokoh yang lain, mereka pun bertanya sebenarnya tugas apakah militier Indonesia di tanah Papua ini, funsinya seperti apa. Rakyat yang seharusnya diberi pelayanan dan perlindungan hukum serta hak hidup pun, justru terlihat dijerah hak hidup mereka.

Seluruh Rakyat pun bingung dengan keberadaan Militer di Papua yang terlihat arogan dan bukan untuk melindungi rakyat Papua. Tiap rakyat Papua yang berjuang akan hak hidupnya saja pun justru diperhadapkan pada Militer yang melahirkan konflik-konflki baru bagi kehidupan sosial rakyat Papua. UU yang dibuat pun terkesan hanya sebatas kertas.

Banyak Masyarakat yang kini terlihat berkelompok-kelompok membahas kebingungan mereka akan arogansi Militer, khsusnya Kepolisian di papua yang akan memanggil tokoh Gereja mereka. Banyak yang berkata, Militer ini sebenarnya datang untuk apa. Tanpa Militer di Papua, kami selalu aman ko. Selain itu, ada juga yang berkata, bahwa jika tokoh Gereja di tahan, maka rakyat akan berbondong-bondong dan melakukan aksi besar-besaran kepada Polda Papua.

Sungguh sedih, Negara yang katanya memiliki nilai demokrasi saja pun terlihat konyol dan gegabah. Jika Polisi dewasa, maka sebuah pernyataan hamba TUHAN yang menyatakan bahwa umat TUHAN itu penting diselamatkan dan hak hidup mereka harus dijunjung tinggi, maka itu harus menjadi dukungan Kepolisian. Jika Polisi dimintai kejujuran dan mau membuka sebuah fakta atas kebenaran itu, maka seharusnya Polisi pun membuat satu tim advokasi dalam investigasinya dulu tuk membenarkan bahwa penyerangan itu datang dari pihak militer Indonesia atau TPN. Namun terkesan gegabah dan konyol karena tanpa dilakukan investigasi, justru isolasi dilakukan oleh militer.

Jika isolasi dilakukan tanpa investigas dan tiap advokasi dalam investigasi yang mau dilakukan justru ditutup, maka itu sebuah pertanyaan dari sebuah kebenaran peristiwa itu.
Terlepas dari sebuah skenario yang dibangung itu, pihak Gereja hanya tahu bahwa semua umat manusia adalah umat TUHAN, yang hak hidup mereka harus dilindungi dan diselamatkan oleh siapa pun sekalipun itu Kepolisian, terlepas dari kesalahan apa yang sudah dibuatnya. Apalagi umat yang tak bersalah. Berdasarkan hal demikian, sungguh wajar jika Pendeta Sokrates Sofyan Yoman mengatakan bahwa, kasus puncak jaya adalah sebuah skenario karena tanpa investigasi lebih jauh, polisi sudah menuduh dan melakukan operasi yang menghancurkan semua tempat di mana rakyat sipil bermukim, yang melahirkan pengunsian besar-besaran dan itu sudah melanggar hak hidup rakyat setempat.
Jika Pendeta Sofyan telah berkata sebuah kebenaran itu, mengapa Polisi justru memojoknya. Mengapa Polisi justru memojok tokoh Gereja yang adalah ketua sinode, yang sudah semestinya bicara masalah kebenaran dan keselamatan umatnya. Berdasarkan sikap bantaan kepada hamba TUHAN, maka sangat terlihat bahwa, iman hanya bisa dibayar rupiah dan kekuasaan memenjarahkan kebenaran. Karena setiap kebenaran yang dinyatakan di Papua, terkesan melawan kepolisian (polisis terlihat anti akan kebenaran di Papua).

Jika Gereja yang menyuarahkan kebenaran dan keadilan di tanah papua saja diseparatiskan, jika tokoh gereja yang berkata bahwa umat TUHAN harus diselamatkan dan stop atas skenario tuk membunuh umat TUHAN saja dipaksa pemanggilannya dan terkesan upaya tuk melumpuhkan kebenaran dan keadilan di Papua, maka sudah sangat tentu “Gereja dilecehkan oleh Militer”.

Sungguh ironis, melihat keamanan berlaga preman.



By: marthen goo