Sabtu, 24 Juli 2010

AS-Korsel Mulai Latihan Gabungan Militer

Minggu, 25 Juli 2010 | 07:25 WIB

SEOUL, KOMPAS.com - Di tengah ancaman serangan nuklir Korea Utara, Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dan Korea Selatan memulai latihan bersama di Laut Jepang, Minggu (25/7/2010).

Dalam pernyataan bersamanya, Menteri Pertahanan AS Robert Gates dan Menteri Pertahanan Korea Selatan (Korsel) Kim Tae-Young mengatakan, rangkaian latihan militer ini merupakan pesan yang jelas untuk Korea Utara (Korut).

"Korut harus menghentikan perilaku agresifnya," kata penyataan dua Menteri Pertahanan tersebut.

Mengutip hasil investigasi internasional atas insiden penembakan kapal perang Korsel di dekat perbatasan perairan Laut Kuning Maret lalu, AS dan Korsel menuduh Pyongyang bertanggungjawab.

Menurut kedua negara itu, Korut mengirim satu kapal selamnya untuk menembak kapal perang Cheonan, yang menewaskan 46 orang awaknya.

Latihan perang bersama AS-Korsel yang direncanakan berlangsung empat hari itu melibatkan 20 kapal, termasuk kapal induk USS George Washington, dan sekitar 200 pesawat tempur.

Komandan PBB pimpinan AS menyebutkan latihan yang berlangsung Minggu dini hari itu juga melibatkan 8.000 orang tentara dari kedua negara.

Semula latihan yang dimulai Minggu dini hari itu akan digelar di Laut Kuning (Laut Barat) yang sensitif bagi Korut namun kemudian dipindahkan ke Laut Jepang setelah China protes.

Namun latihan-latihan berikutnya akan digelar di dua perairan tersebut.

Korut memandang latihan bersama AS-Korsel ini sebagai ancaman. Karenanya, Pyongyang, Sabtu, mengancam akan meresponnya dengan serangan senjata nuklir.

Ancaman terhadap latihan militer bersama kedua negara sudah berulang kali disuarakan Korut.

Komisi Pertahanan Nasional Korut menyebut semua latihan militer AS-Korsel ini sebagai manuver perang dan provokasi untuk melumpuhkan Pyongyang dengan kekuatan senjata.

Militer Korsel sendiri terus memantau secara seksama kondisi dan pergerakan pasukan Korut di perbatasan namun sejauh ini tidak ada kegiatan-kegiatan yang tak biasa di sana menjelang pelaksanaan latihan militer bersama AS-Korsel ini.


Sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/25/07251948/AS.Korsel.Mulai.Latihan.Gabungan.Militer

Di Balik Normalisasi Kerja Sama RI-AS

Minggu, 25 Juli 2010 | 09:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada yang luput dari perhatian saat Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro menggelar konferensi pers seusai bertemu Menteri Pertahanan AS Robert Gates, Kamis (22/7/2010). Perhatian terpusat pada normalisasi Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan elite TNI AD, dengan AS. Padahal, Purnomo mengeksplorasi beberapa hal yang menjadi pusat perhatian Gates, yaitu pengamanan Laut China Selatan.

Soal ini, AS meminta Indonesia menjaga terusan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) agar bebas ancaman. Kepentingan AS soal Laut China Selatan meningkat. Ini akibat semakin intensifnya Angkatan Laut China yang mengubah strategi dari pertahanan lepas pantai menjadi pertahanan laut jauh.

Pada 18 Maret lalu, enam kapal perang China pertama kali melakukan latihan perang di Fiery Cross Reef, kepulauan di antara Vietnam-Malaysia–Filipina. Lalu, menurut New York Times, seorang pejabat militer China menyebut Laut China Selatan sebagai core national interest yang sejajar dengan Tibet. Tindakan China makin menjadi-jadi di Laut China Selatan.
Peran Indonesia sebagai negara kepulauan dan kebijakan luar negeri kita yang tidak berpihak dan perkembangan demokrasi di Indonesia membuat ”Paman Sam” memberikan gula-gulanya. Hubungan militer RI-AS belum pulih. Hukum Leahy sejak 2001 membuat AS tidak boleh memberikan bantuan militer ke sebuah negara yang melanggar HAM.

Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal Lodewijk F Paulus berangkat ke AS untuk melobi. Sepulang dari AS, di Kopassus terjadi pergeseran komandan. Kini kaum muda yang menjabat di Kopassus nihil catat HAM. Kerja sama Kopassus dengan AS di bidang pendidikan dan bantuan alat adalah urusan nomor dua dibandingkan dengan penghapusan noda soal HAM. Tidak banyak yang bisa diharapkan dengan pernyataan Gates yang berbunyi, ”a measured and gradual program of security cooperation activities”. Gates juga menyatakan tetap melihat reformasi TNI dan internal Kopassus. Gates memang harus hati-hati. Pernyataannya yang abu-abu itu langsung dikomentari negatif oleh Senator Leahy dari Partai Demokrat, yang menentang pemulihan kerja sama AS dengan Kopassus.

Kopassus milik rakyat

Kopassus seharusnya tidak menganggap rangkulan basa-basi AS sebagai simbol penebusan dosa. Rakyat Indonesia adalah pemilik Kopassus. Kepada rakyatlah kewajiban terbesar Kopassus secara khusus dan TNI harus dipertanggungjawabkan. Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dengan tegas mengatakan, masalah Kopassus dianggap selesai dengan diadilinya beberapa prajurit dan perwira di Pengadilan Militer. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan demi akuntabilitas institusi TNI. Akuntabilitas bisa tercapai kalau ada pengakuan formal yang tegas akan terjadinya kejahatan HAM di masa lalu.

Deretan pekerjaan rumah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum selesai. Pengadilan Ad Hoc HAM belum juga terwujud, padahal sudah setahun DPR merekomendasikan hal tersebut untuk keluarga orang hilang sekitar tahun 1997-1998. Beberapa kasus seperti pembunuhan Rozy Munir dan hasil investigasi Komnas HAM belum ada yang pernah ditindaklanjuti. Revisi sistem Peradilan Militer juga belum selesai setelah terjadi kemandekan dalam penyusunan RUU ini dalam periode DPR lalu. (EDN)

Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2010/07/25/09584737/Di.Balik.Normalisasi.Kerja.Sama.RI.AS

PEMBUANGAN SAMPAH DI SEPANJANG SELOKAN DAN PARIT, MENGOTORI LINGKUNGAN, DANAU SENTANI DAN PANTAI PAPUA.



24 July 2010
Kebiasaan Jawa-Makasar, Diterapkan Di Papua: Merusak Alam dan Lingkungan Yang Sebelumnya Terlihat Indah Nan Permai.

Sebelumnya, Papua terlihat indah dengan keindahan alam dan lingkungannya yang bersahabat dengan manusia. Tiap hirupan nafas yang dihirupkan manusia, memberikan kelegahan pada saluran pernafasan yang melegahkan paru-paru.
Namun kini sangat disayang, ketika banyak orang makasar dan Jawa masuk ke Papua, banyak hal buruk yang diterapkan di Papua, yakni dengan membuang sampah tidak pada tempatnya (membuang sampah disembarangan tempat).

Selokan dan parit berserahkan dengan barbagai jenis sampah, baik pelastik, botol, kaleng, dan lain-lainnya, yang mana sampah itu dialiri oleh air ke danau dan pantai yang mengakibatkan pantai dan danau pun ikut tercemar. Sungguh kecam manusia migrant yang merusak dan mengotori lingkungan Papua yang dulunya alamia, kini menjadi jorok dan buruk dipandang manusia.

Pemerintah kota dan tata kota serta dinas kebersihan pun tak terlihat funsinya.

Papua yang indah kini pun hancur dikotori oleh manusia yang tak memiliki kepedulian bahwa lingkungan penting untuk dibersihkan.

Hal serupa terlihat seperti di Jakarta, baik di kali ciliwung dan parit di samping istana yang membuang sampah tidak pada tempatnya, yang mengakibatkan udara di Jakarta penuh dengan polusi.

Sungguh sedih, penerapan Jawa-Makasar diterapkan di Papua.



Oleh: Marthen Goo

PROSES MARJINALISASI RAKYAT BANGSA PAPUA





Berhamburnya Rukoh Di Sepanjang Jalan Utama Jayapura, Meminggirkan Kaum Minoritas Papua.

24 July 2010.

Banyak Sekali rukoh yang kini dibangung di sepanjang jalan di Kota Jayapura. Pembagunan rukoh ini menempati tempat-tempat yang dianggap strategi. Banyaknya rukoh yang dibangun, kini pun meminggirkan orang asli Papua dari tanahnya sendiri.
Banyak dana yang mengalir ke Papua karena Otsus, kini mengajak semua orang dari luar untuk harus berbondong-bondong ke papua untuk merebut banyaknya uang otsus di Tanah Papua tersebut. Banyak pembangunan yang dibangun kiri dan kanan, namun pembangunan itu hanya diperuntuhkan oleh pendatang atau yang sering juga disebut oleh Bapak Pendeta Dr. BENNY GIAY “Pembangunan Bias Pendatang”. Hal itu terbukti dengan banyaknya rukoh yang dibuat, tapi tak satu pun rukuh itu milik Papua.

Pemerintah tak sanggup memberdayakan keaslian bagi orang asli Papua. Orang Papua selalu dianggap tidak mampu dan kemudian tidak diberdayakan. Dengan lebel itulah kemudian orang asli Papua dimarjinalisasikan


Oleh Marthen Goo