Sabtu, 31 Juli 2010

Teror Kepada Wartawan di Merauke Kembali Terjadi


Minggu, 1 Agustus 2010 11:29 WIB | Peristiwa | Hukum/Kriminal | Dibaca 99 kali

Jayapura (ANTARA News) - Teror wartawan di Kabupaten Merauke, Papua, kembali terjadi dan kali ini dalam bentuk ancaman menggunakan kertas bertuliskan darah.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura, Victor Mambor, saat dihubungi di Jayapura, Minggu, membenarkan bahwa dirinya juga sudah menerima laporan tentang ancaman berupa kertas yang ditulis dengan menggunakan darah tersebut.

"Bentuk teror sudah berubah sekarang dan isi kalimatnya menyebutkan bahwa mereka para peneror sudah tahu sedang dilacak oleh polisi. Pelaku teror pastilah orang terlatih dan terbiasa untuk melakukan teror seperti ini," kata Victor.

Ancaman teror dengan kertas bertuliskan darah ini terjadi pada Sabtu (31/7) pukul 18.00 WIB yang dikirimkan orang tak dikenal dengan cara menaruh kertas tersebut di depan rumah wartawan Harian Bintang Papua bernama Lala, di Kabupaten Merauke.

Kertas tersebut dibubuhi cap darah dengan kalimat` "Ingat, kami tidak pernah main-main dengan ancaman kami. Kami tahu polisi sedang mencari siapa oknum itu. Maaf, kami tidak lengah. Mati Kamu!".

Sebelumnya, ancaman terhadap sejumlah jurnalis di Jayapura dilakukan orang tak bertanggung jawab melalui pesan singkat (SMS) yang dikirimkan kepada sejumlah wartawan.

Victor Mambor mengatakan, pelaku pasti menyadari bahwa ia perlu mengubah cara terornya agar tidak mudah terlacak.

"Untuk itu, pihak kepolisian setempat perlu bekerja keras untuk secepat mungkin menemukan pelaku teror ini. Jika situasi seperti ini terus berlangsung hingga pilkada, maka jurnalis akan merasa tidak nyaman untuk meliput pilkada di Merauke," katanya.

Sedangkan Lala, wartawan yang menerima ancaman teror itu, menurut Informasi, akan melakukan perjalan menuju Jayapura menggunakan pesawat untuk mengamankan dirinya.

"Ini tentunya merugikan sebuah proses demokrasi yang sedang didorong oleh berbagai pihak selama ini," ujar Victor.

Peran jurnalis dalam pembangunan demokrasi di Indonesia, katanya, seharusnya bisa berjalan normal termasuk dalam mengawal proses pilkada.

Kapolres Merauke sendiri, saat dihubungi mengatakan pihak Kepolisian Merauke sedang mengecek langsung kepada wartawan yang bersangkutan.

Sementara itu, Wartawan JUBI, Indri mengakui bahwa dirinya merasa takut dengan SMS pesan singkat yang meneror dirinya bersama teman-teman wartawan lainnya.

"Kami hanya bisa berharap pelakunya bisa ditemukan polisi dan ada kesadaran untuk tidak melakukan teror," ujar Indri, yang bertugas meliput di Merauke, namun saat ini berada di Jayapura. (PSO-186/B/A041)

Sumber:
http://antaranews.com/berita/1280636988/teror-kepada-wartawan-di-merauke-kembali-terjadi

Kebebasan Pers Terancam!


Jumat, 30 Juli 2010 21:25

JAKARTA—Kebebasan pers di Indonesia terancam. Ini menyusul adanya Undang-Undang (UU) yang dinilai bisa membatasi pergerakan pers. Hukuman pidana penjara pun diperpanjang menyusul revisi mengenai Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP). “Ada lima UU yang mengancam kebebasan pers, UU ITE (Informasi Transaksi Elektronik), UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik), UU Pornografi, UU Pemilu dan Pilpres, dan UU Rahasia Negara,” ucap Leo S. Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers, dalam Penyerahan Sertifikat Ahli Dewan Pers, Jumat (30/7/2010) di Gedung Dewan Pers, Jakarta.
Menurutnya, kelima UU tersebut mengancam kebebasan pers. Dalam UU tersebut terdapat pasal-pasal yang mengatur kebebasan pers, seperti UU Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur informasi apa yang dapat disajikan ke publik.


Hal itu diamini oleh Atmakusumah Astraatmadja. Menurutnya, dalam revisi KUHP terakhir, terdapat sekitar lebih dari 60 pasal yang mengancam kebebasan pers yang akan dikenai hukuman pidana maksimal 20 tahun penjara.
“Dulu hukuman penjara maksimal tujuh tahun, sekarang bertambah. Dulu, pada revisi pertama ada lebih dari 40 pasal yang mengancam pers, revisi kedua 50 lebih pasal, dan pada revisi terakhir ini ada 60 lebih pasal,” terangnya.
Ditambahkannya, KUHP yang sekarang berlaku itu sudah dari awal abad ke-20, zaman kolonial Belanda. Dan ada kurang lebih 35 pasal yang dapat dikenakan terhadap pers. “Waktu itu hukuman penjaranya maksimal tujuh tahun. Sekarang malah lebih parah dari zaman kolonial dulu,” tegas dia. (kom)

Sumber:
http://bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6278:kebebasan-pers-terancam&catid=25:headline&Itemid=96

Hilang Dua Hari, Wartawan Merauke TV Ditemukan Tewas


Jumat, 30 Juli 2010 20:57

Kondisi Mengenaskan, Keluarga Korban Tolak Otopsi


Jenazah Ardhiansyah yang ditemukan Jumat (30/7) saat disemayamkan di RSUD MeraukeMerauke—Setelah dinyatakan hilang selama dua hari, akhirnya Jumat (30/7) sekitar pukul 07.00 Wit kemarin, Ardhiansyah (31), seorang wartawan lepas di Merauke TV, ditemukan dalam keadaan tewas oleh Tim SAR Merauke di pesisir Kali Maro, Gudang Arang Merauke.
Mayat Ardhi ditemukan dalam keadaan mengenaskan, yakni dalam kondisi telanjang dengan tubuh yang membengkak, serta sebagian kulitnya terkelupas. Oleh petugas SAR, mayat korban dievakuasi ke kamar mayat RSUD Merauke, untuk dipastikan identitas mayat tersebut, apakah benar Ardhiansyah yang dikabarkan hilang sejak hari Rabu kemarin.
Pihak keluarga memastikan mayat tersebut adalah Ardhi, dimana ciri-ciri dilihat dari bentuk gigi yang tidak rata, serta terdapat jahitan di bagian bibir atasnya.

Setelah oleh keluarganya tidak diijinkan untuk proses outopsi, sekitar pukul 15.30 Wit kemarin, jenazah Ardhi langsung dikebumikan di TPA Islam Yobar Merauke.
Dari pantauan Bintang Papua, nuansa duka begitu menyelimuti kamar mayat RSUD Merauke. Istri almarhum Ardhi, Iis tampak lemas begitu melihat mayat yang ditemukan Tim Sar adalah suaminya yang dicari-cari selama dua hari kemarin. Begitu pula dengan sang Ibu, yang merasa kehilangan anak yang dibanggakannya.
Dari catatan wartawan media ini, almarhum yang meninggalkan satu istri serta dua anak laki-laki, merupakan figur yang ceria dan familiar. Sebelum bergabung di TV Merauke, Ardhi sempat menjadi wartawan Tabloid Jubi Online dan sejumlah media elektronik yang tugas peliputannya adalah di kawasan Selatan Papua.
Sebelum mayatnya ditemukan, Ardhi dinyatakan hilang pada hari Rabu (28/7), pihak kepolisian Merauke hanya menemukan sepeda motor, helm dan sandal Ardhi tepatnya di jembatan Tujuh Wali-Wali Merauke, Rabu malamnya.
Kapolres Merauke AKBP Djoko Prihadi SH melalui Kasat Pejabat Humas Ipda R Naionggolan mengatakan, korban tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di bagian luar tubuhnya. Hanya saja, saat polisi meminta dilakukan otopsi untuk mengetahui lebih detil, namun ditolak oleh pihak keluarga.
“Kami belum tahu motif kematiannya karena apa. Bunuh diri atau dibunuh dan tindakan lainnya. Yang pasti kami akan lakukan penyelidikan terkait kematiannya,” ungkapnya. Sementara itu, sampai berita ini diturunkan, pihak keluarga almarhum belum bisa memberi keterangan, terlebih sang istri yang begitu syok dengan cobaan ini. (cr-14)

Sumber:
http://bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6276:hilang-dua-hari-wartawan-merauke-tv-ditemukan-tewas&catid=25:headline&Itemid=96

Jumat, 30 Juli 2010

GIZI BURUK MENGANCAM HAK HIDUP ANAK PAPUA


Karena Tak Berdayanya Anak, Populasi Penduduk Asli Papua Pun Berkurang



Jumlah gizi buruk yang dilaporkan Bintang Papua 25 juli 2010 diprediksikan meningkat tajam apalagi di era Otonomi khusus ini. Sebelumnya dikatakan bahwa jumlah gizi buruk berkisar belasan anak, namun sekarang sudah mencapai 20 lebih anak yang mengalami gizi buruk pada juli 2010 ini. Gizi buruk 20 anak tersebut hanya terjadi bagi anak-anak yang tinggalnya di kapung ambroben, dan sekitarnya. Sangat dikawatirkan hal yang serupa juga terjadi di daerah lain yang belum didata gizi buruknya. Pendataan gizi buruk itu pun dilakukan oleh pihak rumah sakit setempat.

Dikawatirkan bagi mereka yang tidak bisa datang kerumah sakit setempat karena alasan tidak adanya uang transport atau biaya pengobatan, justruh lebih banyak dari mereka yang datang memeriksakan anak-anaknya ke rumah sakit.
Jika yang tidak datang di rumah sakit setempat saja diprediksikan banyak, bagimana dengan anak-anak yang diluar dari kampung ambroben itu? Bagi mana juga bagi mereka yang tinggal di seluruh kota biak yang mengalami hal yang sama? Berapa banyakkah anak-anak papua di biak mengalami gizi buruk?

Kini gizi buruk mengancam hak hidup anak-anak Papua yang kemudian akan menekan populasi penduduk bagi orang asli papua. Jika kemudian indikotor dari gizi buruk adalah berbanding lurus anatara usia dan berat badan, maka bagi mana dengan penduduk orang papua yang menurut data BPS 2007 bahwa 72,72% rakyat Papua hidupnya dibawah garis kemiskinan?

Berdasarkan itu, maka diprediksikan 1.100.000 lebih orang papua adalah miskin absolute atau miskin dibawah garis kemiskinan. Sehingga anak-anak Papua yang mengalami gizi buruk diprediksikan mencapai 500.000 lebih anak Papua.

Oleh: marthen goo

Kamis, 29 Juli 2010

Calon Tunggal Kapolri Tidak Demokratis




Pemunculan calon tunggal Kapolri seperti halnya calon tunggal calon tunggal pada pemilihan gubernur Bank Indonesia, dinilai sebagai budaya yang tidak sehat dalam membangun iklim demokrasi.

Menurut pengamat politik Andrinof Chaniago, bila Indonesia konsisten mengikuti pola demokrasi, seharusnya Presiden SBY mengajukan calon Kapolri lebih dari satu, sehingga DPR mempunyai pembanding dalam menjatuhkan pilihan.

“Sebaiknya calon Kapolri lebih dari satu, sehingga lebih demokratis. Tapi itu kan kembali lagi kepada presiden, terserah mau mengajukan berapa calon,” ujar Adrinof kepada matanews.com di Jakarta, Kamis (29/7).

Ia mengatakan, dengan sukses pencalonan tunggal yang terjadi dalam pemilihan Gubernur BI baru-baru ini, maka sangat besar kemungkinannya Presiden SBY akan mengulangi hal yang sama pada pemilihan Kapolri yang baru.

“Karena tingkat resistensinya relatif kecil, makanya presiden berani mengajukan calon tunggal. Apalagi koalisi di DPR juga sangat kuat. Jadi pencalonan ini sudah sangat diperhitungkan,” tandasnya.

Atmosfer pencalonan tunggal Kapolri pun sudah dirasakan oleh Andrinof. Ia juga tak menampik bahwa ada kepentingan presiden dibalik pencalonan tunggal tersebut karena Kapolri merupakan salah satu pion penting dalam pilar sistem keamanan dan penegakan hukum negara.

Saat ini ada beberapa nama calon Kapolri pengganti Bambang Hendarso Danuri yang sedang ramai dibicarakan publik.

Nama-nama tersebut adalah Wakapolri Komisaris Jenderal Pol Yusuf Manggabarani, Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri Komisaris Jenderal Pol Nanan Soekarna, Kabareskrim Komisaris Jenderal Pol Ito Sumardi, dan Kapolda Sumatera Utara Inspektur Jenderal Pol Oegroseno.

Ada pula nama Kapolda Metri Jaya Inspektur Jenderal Pol Timur Pradopo, Kepala Korps Brimob Inspektur Jenderal Pol Imam Sudjarwo, Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Pol Pratiknyo, dan Widyaiswara Sekolah Pimpinan Polri Inspektur Jenderal Pol Bambang Suparno. (*mar/bo)

Sumber:
http://matanews.com/2010/07/29/calon-tunggal-kapolri-tidak-demokratis/

Rabu, 28 Juli 2010

2 Agustus, KNPB Gelar Mimbar Bebas di Makam Theys

Rabu, 28 Juli 2010 20:46
JAYAPURA—KNPB (Komite Nasional Papua Barat) yang selama ini cukup gencar dalam menyuarkan Referendum, Rabu (28/7) kemarin kembali melakukan aksi demo damai.
Demo yang dikoordinatori Jubir KNPB Maco Tabuni dimulai dengan pengumpulan massa di depan Kantor Pos Abepura.
Saat melakukan pengumpulan massa tersebut, anggota KNPB KNPB juga membagi-bagikan selebaran kepada masyarakat yang lewat disekitar aksi pengumpulan massa. Dalam selebaran yang ditndatngi Ketua Umum KNPB sekaligus selaku penanggungjawab aksi demo Bucktar Tabuni tersebut berisikan tentang bergabungnya Papua ke dalam NKRI yang dinyatakan oleh KNPB sebagai aneksasi adalah melangar hukum dan HAM Intrnasional. ‘’Itulah akar persoalan Papua sehingga aneksasi Papua disebut Ilegal,’’ungkapnya yng menyatakan bahwa proses aneksasi tersebut adalah persekongkolan Belanda, Amerika Serikat, Indonesia dan PBB.

Dikatakan bahwa akar persoalan tersebutlah yang terus digugat oleh orang asli Papua. ‘’Akar persoalan itu juga sedang digugat di tingkat Internasional oleh pihak-pihak internasional melalui kajian dalam bentuk buku, seminar, kampanye dan lobi,’’ jelasnya.
Dikatakan juga bahwa supaya bisa mendorong akar masalah itu ke PBB, maka IPWP (Gabungan Parlemen-Pareleman Internasional) dan ILWP (Pengacara-Pengacara Hukum Internasional) sedang mendorong negara-negara agar akar masalah ini bisa dibawa ke PBB, baik secara hukum maupun politik. ‘’Tanggal 19 Juni 2010 lalu, Parlemen oposisi dan pemerintah Vanuatu telah membuat suatu mosi (kesepakatan) untuk membawa masalah Papua Barat ke PBB. hal yang sama sedang didorong di PNG dan Ingris,’’ ungkapnya lagi.
Diungkapkan juga dalam selebaran tersebut bahwa tanggal 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 dalam pelaksanaan Pepera diwarnai dengan kekerasan militer dan manipulai. ‘’Tanggal 2 Agustus ini akan diperingati di seluruh pendukung Papua Merdeka DI TINGKAT Internasional dengan mengembalikan Pepera 1969 ke PBB dan menggugat kembali serta menuntut dilaksanakan Referendum sebagai solusi tengah antara Papua dan Indonesia,’’ lanjutnya.
Di dalam selebaran tersebut dicantumkan bahwa pada 2 Agustus 2010 nanti tepatnya pukul 10.00 WP akan dilaksanakan mimbar bebas di Lapangan Pahlawan Makam Theys Eluay. (aj)

Sumber:
http://bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6239:2-agustus-knpb-gelar-mimbar-bebas-di-makam-theys&catid=25:headline&Itemid=96

Kejati ‘Disuguhi’ Peti Mati



Rabu, 28 Juli 2010 21:02

*Didesak Tuntaskan Kasus Jhon Ibo dan Agus Alua
*Kajati : Jangan Diragukan Komitmen Kejati Papua

JAYAPURA—Sekitar dua puluhan masa Komite Nasional Papua Barat (KNBP) Rabu (28/7) siang kemarin mendatangi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua, sambil membawakan peti mati (baca:Disuguhi Peti Mati). Mereka mendesak lembaga Kejati Papua menuntaskan kasus Ketua DPRP Drs Jhon Ibo MM dan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Agus Alue Alua.
Aksi massa yang berlangsung singkat di halaman kantor Kejati Papua tersebut, sontak menghentikan aktifitas perkantoran, beruntung massa langsung ditemui Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Palty Simanjuntak SH didampingi Wakajati Papua Hardjono Tjatjo, SH bersama beberapa staf kejati.
Dihadapan Kejati Papua, koordinator Komisi Hukum Ham dan HAM KNPB, sekaligus koordinator aksi, Gepamer Alua, meminta agar Kejaksaan Tinggi Papua menuntaskan kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite birokrasi serta politisi baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat.
Alua juga membeberkan kasus penyalahgunaan keuangan daerah yang dilakukan ketua DPRP Jhon IBO bersama rekannya Yance Kayame yang diduga bersekongkol menilai uang rakyat dari pos dana bantuan sosial TA 2009 sebesar Rp5.2 miliar serta ketua MRP Agus Alue Alua yang sampai sekarang belum juga mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran dari pos kinerja anggota MRP yang dialokasikan Rp18 miliar.

“Mereka ini kenapa masih berkeliaran, Kejati harus menangkap dan memproses mereka sesuai jalur hukum yang ada di Indonesia, kalau memang ini negara hukum,” terangnya.
Dalam orasinya, Gepamer Alua meminta presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono agar memimpin langsung pemberantasan korupsi di Papua, karena KNPB kuatir serta tidak pervaya dengan kinerja pemberantasan kasus korupsi yang dilakukan aparat penehak hukum di Papua.“Kami rakyat Papua sudah tidak percaya, kepada Gubernur, Kajati, Pangdam, DPRP dan MRP, mereka mereka juga terlibat dalam lingkaran koruptor kotor, koruptor berkedok birokrat dan politisi,” teriaknya lewat megaphone.
KNP juga meminta kepada Presiden SBY agar segera meminta pertanggungjawaban dari Gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP, Kajati, Kapolda da Pangdam atas maraknya korupsi di Papua.
Yang tidak luput dari perehatian KNPB dari aksi tersebut, yakni KNPB juga meminta kepada Kajati untuk meneruskan permintaan KNPB agar menghentikan operasi militer dan penangkapan kepada rakyat Papua Barat atas dasar tuduhan separatis dan makar.
“Kami minta tagkap dan penjarakan para koruptor karena merekalah sesungguhnya separatis,” tegas Macho Tabuni yang juga hadir bersama masa KNPB.
Setelah melakukan orasi 30 menit, Ketua Kajati Palty Simanjuntak yang mendengar orasi tersebut, mengatakan pihaknya berterima kasih kepada KNPB yang telah memberikan dukungan terhadap pemberantasan Korupsi di Papua.“Komitmen Kejati Papua tidak perlu diragukan, kami akan bekerja sampai kasus korupsi di Papua ini tuntas, itu amanat presiden pada kami,” tegas Kajati yang juga terlihat bersemangat melakukan diskusi dengan Macho Tabuni.
Setelah melakukan orasi, masa kemudian membubarkan diri secara aman dan tertib serta meninggalkan Kajati Papua. (hen)

Sumber:
http://bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6251:kejati-disuguhi-peti-mati&catid=25:headline&Itemid=96

Salim: Janji Menhan AS Cuma Basa-basi


REFORMASI MILITER
Rabu, 28 Juli 2010 | 22:47 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat militer Salim Said menilai pernyataan resmi pemerintah Amerika Serikat (AS), yang akan membuka embargo terhadap korps pasukan elit TNI Angkatan Darat (Kopassus), seperti disampaikan Menteri Pertahanan AS Robert Gates sebelumnya, hanya sekadar basa-basi dan tidak akan mungkin dilakukan.
Senator Patrick Leahy di Kongres AS itu masih belum mengubah keputusannya yang keras terhadap Kopassus soal dugaan pelanggaran HAM.
-- Salim Said

Menurut Salim, setiap bentuk kerja sama dengan negara lain yang akan digelar pemerintah AS harus mendapat persetujuan dari Kongres AS karena hal itu akan terkait pula dengan kebijakan anggaran untuk membiayainya. Hal itu disampaikan Salim, Rabu (28/7/2010), usai berbicara dalam diskusi tentang reformasi TNI di Harian Sinar Harapan, Jakarta.

"Senator Patrick Leahy di Kongres AS itu masih belum mengubah keputusannya yang keras terhadap Kopassus soal dugaan pelanggaran HAM. Memang Pentagon kepingin sekali perbaiki hubungan dengan Indonesia karena peran strategisnya di kawasan Asia, menghadapi pengaruh kekuatan baru seperti China dan India," ujar Salim.

Akan tetapi niat dan keinginan pemerintah AS tadi tidak akan bisa dengan mudah dilaksanakan karena Kongres AS juga berperan sangat besar dalam pengambilan keputusan di sana. Menurut Salim, kalau pun ada yang dibuka, paling-paling hanya dalam bentuk latihan kecil-kecilan yang pastinya tidak akan bisa dilakukan di AS.

"Sudah lah, enggak akan ada perubahan yang signifikan soal kerjasama dengan Kopassus karena di Kongres AS masih ada hambatan. Saya pernah kesana (Leahy) ikut melobi, angel (sulit) sekali. Gates itu kan wakil pemerintahnya yang memang mau berbaik-baik dengan Indonesia. Dari dahulu pun mereka begitu. Enggak ada yang baru lah itu," ujar Salim.

Dalam kesempatan sama, mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo meminta pemerintah dan TNI melakukan pembenahan ke dalam dan introspeksi diri, terutama terkait dengan nilai-nilai universal macam Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga tidak perlu lagi berubah setelah ada tekanan dari luar.

"Sebaiknya kita proaktif menjadikan semua tantangan tadi untuk kemudian melakukan perbaikan diri serta introspeksi. Semua itu demi kebaikan diri kita sendiri," ujar Agus.

sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2010/07/28/22472134/Salim:.Janji.Menhan.AS.Cuma.Basa.basi

IBUKOTA WAJIB DIPINDAHKAN


Laporan wartawan KOMPAS.com Hindra Liauw
Kamis, 29 Juli 2010 | 08:46 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com — Lagi, wacana pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa kembali bergulir. Keruwetan yang sungguh tak terperikan di Jakarta sebagai ibu kota negara melatarbelakangi munculnya wacana ini.

Saat ini, tak kurang 59 persen populasi di Indonesia terpusat di Pulau Jawa, yang luasnya hanya 6,8 persen dari total daratan di Indonesia. Kemacetan pun telah menjadi pemandangan lazim di Jakarta, utamanya pada pagi dan sore hari.

Diperkirakan, kerugian material akibat kemacetan di DKI Jakarta mencapai Rp 17,2 triliun per tahun, atau nyaris setara dengan anggaran belanja dan pendapatan DKI Jakarta setiap tahunnya.

Data dari Tim Visi Indonesia 2033 juga menyebutkan, tak kurang 80 persen industri terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal ini menimbulkan pembangunan yang tak merata serta kesenjangan antara Pulau Jawa dan non-Jawa.

"Menurut saya, ibu kota itu wajib dipindahkan," tegas Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo, Rabu (28/7/2010), kepada Kompas.com. "Tak ada (gubernur) yang mampu. Sudah sekian gubernur, tetap sama saja kok," tambah anggota Fraksi PDI-P ini.

Ketika dibangun oleh Belanda, sambung Ganjar, Jakarta hanya didesain menampung sekitar dua hingga tiga juta penduduk. Seiring dengan perkembangan zaman, kini tak kurang 10 juta orang memadati Jakarta setiap harinya. Pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa, sambung Ganjar, dinilai mampu merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah.

Hal senada ini disampaikan Direktur Kemitraan untuk Tata Pemerintahan yang Lebih Baik Wicaksono Sarosa, yang juga pemerhati isu-isu perkotaan. "Selama ini, kegiatan ekonomi di Jakarta hanya mendorong kemajuan segelintir daerah saja, seperti Jawa Barat dan Banten," ujar Wicaksono, mengutip penelitian Profesor Budi Reksosudarmo.

Usulan pemindahan ibu kota juga disampaikan pemerhati lingkungan hidup, A Sonny Keraf, yang juga dosen Universitas Atma Jaya Jakarta. "Banyak negara melakukan itu dan berhasil mengatasi kemacetan di ibu kota negaranya," kata Sonny dalam tulisannya yang berjudul "Pindahkan Ibu Kota" di Harian Kompas edisi Rabu (28/7/2010).

Pemindahan ibu kota, terutama ke Indonesia bagian timur, dinilai menjadi sebuah langkah dan peluang pemerataan pembangunan di kawasan tersebut. Ini memberi kesempatan yang lebih besar bagi berkembangnya wilayah luar Jawa.

Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2010/07/29/08465179/Ibu.Kota.Wajib.Dipindahkan

Pipa Kimia Meledak, 200 Orang Terluka


China
BEIJING, KOMPAS.com
- Sedikitnya dua orang meninggal dan lebih dari 200 orang terluka dalam sebuah ledakan pipa kimia di China timur, Rabu (28/7).

Ledakan itu terjadi di kota Nanjing, ibu kota Provinsi Jiangsu, sekitar pukul 10.00 waktu setempat atau pukul 09.00 WIB, kata Radio Nasional China dalam situsnya. Radio tersebut melaporkan, sebuah pipa yang membawa etilen meledakkan di lahan sebuah pabrik plastik yang ditinggalkan, dan seorang reporter radio itu telah melihat dua sosok mayat.

Menurut sebuah website yang dikelola pemerintah provinsi, sekitar 200 orang terluka dalam peristiwa itu telah dilarikan ke sejumlah rumah sakit lokal untuk pengobatan. Pihak berwenang juga masih mencoba untuk menentukan jumlah korban dalam ledakan yang menerbangkan jendela bangunan sampai sejauh 300 meter.

"Ada puluhan yang terluka di rumah sakit kami. Situasi mereka tidak serius, kebanyakan mereka menderita luka bakar," kata seorang dokter di rumah sakit kota Zhongda, yang menolak untuk mengidentifikasi dirinya. "Tidak ada yang meninggal di rumah sakit kami. Ada orang-orang terluka di setiap rumah sakit besar di Nanjing."

Kantor berita Xinhua mengatakan, kebakaran yang terjadi di lokasi kejadian menyusul ledakan itu telah dipadamkan.

Sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/28/12385711/Pipa.Kimia.Meledak.200.Orang.Terluka

Selasa, 27 Juli 2010

Sebut Pepera Final, Meset Dinilai Keliru

Selasa, 27 Juli 2010 22:57
Saul: Pepera Hasil Rekayasa Bukan Murni

JAYAPURA—Pernyataan Mantan Tokoh OPM, Nicholas Meset yang menyebutkan Papua final dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Mahkamah Internasional, mulai mengundang kontra, kali ini datang dari rekan-rekan seperjuangnya.
Kepada media ini, Selasa (27/7) malam kemarin, Juru Bicara Political West Papua Saul Bomoy kepada Bintang Papua mengatakan, pernyataan Nicholas Meset merupakan pembohongan terhadap perjuangan rakyat Papua Barat yang dilakukan, karena berada dalam tekanan dan keterpaksaan.
Menurutnya, Pepera 1969 itu belum final dan Mahkamah Internasional maupun badan keamanan dunia (PBB) sejak tahun 1969 hingga saat ini tidak pernah mengeluarka pernyataan ataupun keputusan yang menyebutkan bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI.
“Papua dalam NKRI itu karena hasil rekayasa Pepera 1969, hasil rekayasa bukan murni,” tegasnya mengulang.

Oleh karena itu pihaknya, lanjut Bomoi, menyarankan kepada Nicolas Meset untuk menghentikan manuver politiknya yang selalu menyebutkan bahwa Papua sudah final dalam NKRI , karena hal tersebut adalah pembohongan, sebaiknya Nicholas Meset memilih diam dan tidak banyak berkomentar soal masalah Politik Papua.
“Jangan terus menutupi kebenaran, kau sebaiknya pasimaut, (tutup mulut) dan kau sudah kalah dalam berpolitik bagi Papua Barat, yu tipu dan yu, tutup mulut dan diam-diam di Papua kita berdosa terhadap rakyat Papua Barat,” ungkapnya.
Bomoy yang juga merupakan korban Daerah Operasi Militer (DOM) menegaskan bahwa ferendum rakyat Papua Barat merupakan satu-satunya cara paling demokratis di dunia.
“Ini mekanisme demokrasi, hukum dan humanisme (HAM) untuk penentuan nasib sendiri, sesuai dengan declaration of humanisme and united nation,” terangnya.
Dia juga menuding bahwa manuver politik yang dilakukan Nicholas Meset karena yang bersangkutan telah buat kontrak politik dengan Pemerintah Indonesia sehingga hal itu bisa dimaklumi.
“Dialog antara pemerintah RI dengan Rakyat Indonesia juga harus dihentikan karena itu bukan solusi, itu memperumit serta memperpanjang konflik di Papua Barat,” singgungnya.(hen)

sumber:
http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6225:sebut-pepera-final-meset-dinilai-keliru-&catid=25:headline&Itemid=96

BANYAK INTELIJEN MENJEJAKI KAMPUS UNIVERSITAS CENDERAWASIH




Intervensi Intelijen Senin 26 July 2010, Mematikan Pisikologi Mahasiswa dan Dosan UNCEN


Ketika Isu protes diwacanakan karena tidak adanya keberpihakan pihak UNCEN atas penerimaan mahasiswa asli Papua, yang sebelumnya atas permintaan mahasiswa papua adalah 90-95% adalah orang asli Papua dan selebihnya adalah non-papua, maka hal itu kemudian menggelisakan para intel. Diduga intel-intel tersebut kebanyakan dari pihak kepolisian.

Berhamburannya Intel di Uncen pada pukul 08.00-12.00, membingungkan mahasiswa yang hendak mendatangi kampusnya. Banyak pertanyaan pun muncul di antara mahasiswa dan hendak bertanya, mau apa Intel-intel ini ke kampus. 7 orang dari intel itu pun masuk sampai ke dalam ruang kampus di ruang rektorat lama, tempat di mana rencana dilakukan pertemuan antara perwakilan mahasiswa dan rector hendak berjumpa untuk membahas penerimaan mahasiswa baru tersebut. sementara banyaknya intel lain beramburan di halaman kampus uncen, dan diperkirakan sampai 30 orang intel.

Melihat situasi yang dihadiri oleh 7 orang intel tersebut, seorang mahasiswa (Benny) berdiri dan mengusir para Intel yang masuk di ruang di mana pertemuan akan digelar itu. Dengan suara lantang (keras), benny mengatakan, kamu ini mahasiswa apa bukan, kamu jurusan apa dan fakultas apa? Apa kepeintang kalian masuk di sini? Pergi…!!! Pergi !!! dan keluar.

Satu dari 7 orang tersebut kemudian mengangkat bajunya dan hendak menunjukan pistolnya yang diselipkan antara pinggang dan celananya.

Upaya mematikan psikologi yang adalah terror itu kemudian dilakukan kea rah mahasiswa di dalam kampus uncen, tepatnya di ruangan kampus yang sebenarnya tidak penting aparat masuk ke dalam kampus karena adanya otoritas kampus.

Ada apa dengan pihak militer Indonesia yang dengan beraninya masuk sampai pada intervensi di kampus tersebut?
Apakah ada upaya militer untuk mematikan Sumber Daya Manusia Papua?

Jika di dalam kampus saja pun, militer berani dan masuk untuk mematikan psikologi orang papua dengan cara menteror mental, bagi mana dengan mama-mama atau masyarakat yang ada dipelosok-pelosok?

Sungguh kejam bangsa Indonesia ini.


By: Marthen Goo

Senin, 26 Juli 2010

MALARIA MEMATIKAN 53 RAKYAT PAPUA


Korban Tewas di Intan Jaya Jadi 53 Orang



JAYAPURA—Korban tewas akibat wabah penyakit malaria di sejumlah wilayah di Kabupaten Intan Jaya dalam tiga bulan terakhir ini bertambah. Jika sebelumnya dilaporkan 43 orang, namun data resmi dari Dinas Kesehatan setempat yang diterima DPRP di Jayapura korban tewas menjadi 53 orang.

Hal ini disampaikan Yulius Miagoni SH, Anggota Komisi A DPRP di ruang kerjanya, Senin (26/7). Dikatakan, Dinas Kesehatan Intan Jaya serta Dinas Kesehatan Provinsi Papua telah melakukan pengobatan terhadap pasien yang terkena malaria, serta melakukan fogging (pengasapan) di beberapa lokasi yang diduga tempat bersarangnya nyamuk, namun warga masih mengeluh lantaran penanganan terhadap wabah malaria belum tuntas dan korbanya makin bertambah.

Namun demikian, lanjutnya, untuk mencegah agar tak menelan korban yang lebih banyak lagi, maka diharapkan pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Intan Jaya, Pemprov Papua serta pemerintah pusat dapat melakukan pengobatan massal terhadap pasien yang tertular malaria di beberapa lokasi yang diduga sebagai sumber malaria.

Karena itu, lanjutnya, DPRP minta Dinas Kehatan Intan Jaya dan Dinas Kesehatan Provinsi Papua agar segera menyalurkan bantuan seperti obat obatan, peralatan medis serta dana kepada warga di sejumlah wilayah di Intan Jaya.

Menurutnya, pasca operasi yang dilakukan Dinas Kesehatan Intan Jaya dan Dinas Kesehatan Provinsi Papua ditemukan dibeberapa wilayah di Kabupaten Intan Jaya terdapat sejumlah kolam ikan yang belum dimanfaatkan ternyata bersarang dan berkembang biak nyamuk anopheles. Tapi kini sejumlah kolam ikan tersebut telah dipelihara ikan kepala emas yang dapat memangsa nyamuk.

Dia mengatakan, pihaknya juga kecewa menyusul pihak Dinas Sosial Provinsi Papua pasca jatuhnya korban tak pernah menanggapi permohonan bantuan pakaian dan makanan yang disampaikan pemerintah daerah setempat. (mdc)


Sumber:
http://bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6204:korban-tewas-di-intan-jaya-jadi-53-orang-&catid=25:headline&Itemid=96#JOSC_TOP

AS-Korsel Gelar Latihan Anti Kapal Selam


AS-Korsel Gelar Latihan Anti Kapal Selam
Senin, 26 Juli 2010 | 20:39 WIB


SEOUL, KOMPAS.com - Kapal-kapal perang Amerika Serikat dan Korea Selatan melancarkan latihan anti kapal selam, Senin (26/7). Latihan itu merupakan bagian dari latihan angkatan laut penting yang bertujuan untuk menyampaikan peringatan kepada Korea Utara.

Kedua sekutu itu, yang menuduh Korea Utara (Korut) mengirim sebuah kapal selam untuk mentorpedo sebuah kapal perang Korea Selatan (Korsel), mengikutsertakan sekitar 20 kapal termasuk kapal induk USS George Washington yang berbobot mati 97.000 ton, 200 pesawat dan 8.000 personel. Empat pesawat tempur siluman F-22 terbang di dan sekitar Korea untuk pertama kali demi menunjukkan komitmen kuat Washington dalam menangkal dan mengalahkan setiap aksi provokatif, kata Letjen Jeffrey Remington, komandan Angkatan Udara VII kepada wartawan di pangkalan udara Osan.

Seoul dan Washington mengatakan, latihan empat hari itu yang dimulai Minggu, terbesar dalam beberapa tahun dan pertama dalam serangkaian pelatihan, bertujuan untuk menekankan bahwa serangan-serangan pada masa depan akan menghadapi tanggapan yang menentukan.

AS juga mengumumkan sanksi-sanksi baru untuk menghukum Korut atas tenggelamnya kapal perang itu dan mendesak Pyongyang menghentikan program senjata nuklirnya. Korut yang komunis menolak bertanggung jawab atas serangan terhadap korvet Korsel pada Maret lalu yang menewaskan 46 pelaut itu. Negara itu menyebut latihan "Invincible Spirit" itu sebagai satu latihan untuk perang.

"Latihan, Senin, dipusatkan mendeteksi lebih baik penyusupan satu kapal selam musuh dan menyerang mereka," kata seoarng juru bicara ketua Gabungan Kepala Staf Korsel kepada wartawan.

Militer Korsel mendapat kecaman keras karena gagal mendeteksi serangan kapal selam dekat perbatasan Laut Kuning yang disengketakan itu.

sumber;
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/26/20392735/AS.Korsel.Gelar.Latihan.Anti.Kapal.Selam

BANYAK BELAJAR DI LUAR NEGERI, TAK MENGERTI SIFAT MATERI


Pesimisnya Nicholas Meset, Menunjukan Ketidak Pengertiannya Serta Mengatakan Dirinya Tak Mengerti Revolusioner dan Hukum Internasional.


Seorang revolusioner yang baik dan sejati, selalu komitmen dan optimis dalam sebuah perjuangan yang dilakukannya. Hal itu terlihat dengan berberapa Revolusioner dunia yang menunjukan komitme dan optimisnya mereka dalam perjuangan. Toko-toko revolusioner itu seperti Nelson Mandela, Gandi, Sana, dan lainnya.

Namun hal ini sangatlah lumrah dan lucu, di mana Nicholas Meset yang mengangkat dirinya adalah pejuan harus menyerah, dan mengapdi kepada Indonesia serta difasilitasi oleh pemerintah untuk melakukan pendidikan propaganda kepada rakyat Papua bahwa isu Merdeka Hanya melelahkan dan mahkama Internasional telah mengakui Pepera 1969 sah ( Baca: minggu, 25 juli 2010). Sementara, Nicholas Meseta tak mampu memberikan dasar hukum bahwa Pepera itu sah.

Dalam perjnjian new york, di sana dikatakan bahwa “one man, one vote” (satu orang satu suara), namun itu kemudian dimanipulasi oleh Indonesia dengan mencopot 1025 orang (katanya 1025 orang mewakili 800.000 orang papua, yang sebenarnya sudah melanggar perjanjian roman tersebut), dan dibawah tekanan militer Indonesia, mereka diarahkan untuk harus memilih Indonesia. Beberapa dari mereka yang pilih Papua Merdeka harus lari ke Pasifik karena mereka dikejar untuk mau dibunuh, seperti Alm. Wim Songgonao dan teman-temannya. Di sitiuasi itu, hak dan kebebasan untuk menentukan nasip dan masa depannya sendiri pun tak diakui oleh Indonesia. Dibawah ancaman dan bantaian, mereka dipaksakan untuk harus memilih Indonesia. Sehingga berdasarkan sejarah itu, maka Pepera sungguh tidak sah, karena keabsaannya tidak memiliki dasar hukum, baik secara hukum nasional Indonesia, maupun hukum internasional.

Kepesemisan Nicholas Meset dan yang lainnya, menunjukan bahwa mereka tak memiliki komitmen dan pandangan yang baik tentang Hukum Indoternasional walau banyak belajar di luar Negeri. Karena selain Pepera yang cacat hukum, tapi juga bahwa yang namanya materi itu selalu berubah bentuk, dari yang satu menjadi yang lain. Misalnya, besi dalam proses perubahan waktu, mengalami proses perubahan ke arah kekaratan. Begitu juga dengan kemerdekaan sebuah Negara. Negara merdeka di seluruh dunia pun, sebelumnya dalam proses perjuangan mengalami nasip yang sama, yakni sering ada anggapan bahwa susah menunju kemerdekaan, namun akhirnya merdeka juga. Hal itu seperti Indonesia. dalam proses jajahan yang dialami. Sebelumnya Indonesia pun beranggapan bahwa Indonesia tidak akan merdeka, namun karena komitmen dan keseriusan para revolusioner, maka Indonesia pun merdeka.



Bagimana dengan Papua?
Papua pun akan mengalami perubahan materi. Karena perubahan materi selalu terjadi berdasarkan penyebab. Dan penyebab itu justru dilakukan oleh Indonesia sendiri. Misalnya dengan Genosida (pemusnaan etnis asli Papua) yang hendak dilakukan oleh Indonesia atas papua.

Berdasarkan itu maka, poin penegasan bahwa:
1) Pepera cacat hukum
2) Perubahan materi akan terjadi, dan itu dilahirkan oleh Indonesia, sehingga Papua pasti Merdeka

Selasa, 26 juli 2010

(renungan dibalik sebuah fakta sejarah dan kondisi nyata)




Oleh: marthen goo

Info dukungan:
http://bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6173:isu-merdeka-hanya-melelahkan&catid=25:headline&Itemid=96

Minggu, 25 Juli 2010

RENCANA AKSI MAHASISWA UNCEN ASLI PAPUA

Senin, 26 July 2010
Gambar: 6 truk brimob dan 1 mobil open cup dengan Pasukan Brimob bersenjata lengkap di Gapuran UncenPerumnas 3


Polisi Dengan Senjata Lengkapnya Mendatangi Wilayah Kampus

UNIVERSITAS CENDERAWASIH (uncen) adalah sebuah univrsitas tua di Papua yang lahir karena persoalan sejarah. Sumberdaya manusia Papua berkembang dan bertumbuh melalui sebuah sarana kampus yakni uncen tersebut.
Uncen merupakan sebuah Universitas ternama di Papua yang melahirkan banyak sekali generasi muda Papua yang andal dan baik untuk membangun Negeri Papua, berdasrkan ilmu yang dimilikinya. Dengan pengalaman dan gambaran demikianlah, kemudian seluruh anak-anak Papua yang berasal dari berbagai daerah harus berbondong-bondong ke propinsi Papua, guna melanjuti pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi.

Diketahui bahwa, uncen merupakan rumah orang Papua, sehingga dirumah itulah orang Papua harus menekuni pendidikannya. Harapan orang Papua keluar Papua sangat minim, dikarenakan keraguan atas tidak diterimanya mereka di universitas Negeri di daerah lain sangatlah kuat dan hal itu terjadi, yang mana Universitas Negeri di Daerah itu tentunya pun akan mengutamakan anak-anak daerah di mana Universita Negeri itu di bangun.

Dengan pandangan seperti di atas, maka Uncen merupakan alternative terakhir anak-anak Papua untuk menekuni bangku pendidikan mereka di Universitas Negeri terlepas dari uncen merupakan sejarah bagi bangsa Papua.
Melihat itu, kemudian desakan dari mahasiswa Papua bahwa, Calon Mahasiswa Papua harus di terima 90%-95%, sementara sisanya adalah pendatang. Hal itu disampaikan karena Pendatang memiliki banyak alternative pendidikan yang bisa didapatkan. Misalnya, pendatang orang makasar, biasa kembali ke makasar dan mendaftarkan diri di kampong alaman mereka, begitu juga jawa, batak dan lainnya.

Terlepas dari itu juga, Uncen dibangun hanya dalam rangkan meningkatkan mutu pendidikan orang Papua kearah yang lebih baik dan tepat.
Namun kini, hal itu sangatlah disesalkan, dikarenakan penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2010-2011, dinilai tidak mencapai target maksimal. Dimana orang pendatang diprediksikan diterma 30-40%.

Melihat hal itu, kemudian mahasiswa Papua dan rakyat papua berkeinginan untuk harus melakukan aksi protes kepada Uncen yang tanpa disadari pun akan menipis SDM Papua. Dan hal rencana itu pun kemudian dicium oleh pihak Kepolisian dan akhirnya Polisi menggerakkan 6 Truk dan 1 mobil opencup dengan personil brimob lengkap dengan senjata lengkapnya ke kampus uncen perempunas 3.

Sungguh aneh, Polisi hendak masuk kampus. Kenapa polisi seakan mendukung kebijakan Uncen yang hendak mematikan SDM orang papua? Apa kepentingan kepolisian? Polisi yang seharusnya melindungi rakyat dan menopang lahirnya sumber daya manusia pun justru mematikan SDM.

Oleh: Marthen Goo

Sabtu, 24 Juli 2010

AS-Korsel Mulai Latihan Gabungan Militer

Minggu, 25 Juli 2010 | 07:25 WIB

SEOUL, KOMPAS.com - Di tengah ancaman serangan nuklir Korea Utara, Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dan Korea Selatan memulai latihan bersama di Laut Jepang, Minggu (25/7/2010).

Dalam pernyataan bersamanya, Menteri Pertahanan AS Robert Gates dan Menteri Pertahanan Korea Selatan (Korsel) Kim Tae-Young mengatakan, rangkaian latihan militer ini merupakan pesan yang jelas untuk Korea Utara (Korut).

"Korut harus menghentikan perilaku agresifnya," kata penyataan dua Menteri Pertahanan tersebut.

Mengutip hasil investigasi internasional atas insiden penembakan kapal perang Korsel di dekat perbatasan perairan Laut Kuning Maret lalu, AS dan Korsel menuduh Pyongyang bertanggungjawab.

Menurut kedua negara itu, Korut mengirim satu kapal selamnya untuk menembak kapal perang Cheonan, yang menewaskan 46 orang awaknya.

Latihan perang bersama AS-Korsel yang direncanakan berlangsung empat hari itu melibatkan 20 kapal, termasuk kapal induk USS George Washington, dan sekitar 200 pesawat tempur.

Komandan PBB pimpinan AS menyebutkan latihan yang berlangsung Minggu dini hari itu juga melibatkan 8.000 orang tentara dari kedua negara.

Semula latihan yang dimulai Minggu dini hari itu akan digelar di Laut Kuning (Laut Barat) yang sensitif bagi Korut namun kemudian dipindahkan ke Laut Jepang setelah China protes.

Namun latihan-latihan berikutnya akan digelar di dua perairan tersebut.

Korut memandang latihan bersama AS-Korsel ini sebagai ancaman. Karenanya, Pyongyang, Sabtu, mengancam akan meresponnya dengan serangan senjata nuklir.

Ancaman terhadap latihan militer bersama kedua negara sudah berulang kali disuarakan Korut.

Komisi Pertahanan Nasional Korut menyebut semua latihan militer AS-Korsel ini sebagai manuver perang dan provokasi untuk melumpuhkan Pyongyang dengan kekuatan senjata.

Militer Korsel sendiri terus memantau secara seksama kondisi dan pergerakan pasukan Korut di perbatasan namun sejauh ini tidak ada kegiatan-kegiatan yang tak biasa di sana menjelang pelaksanaan latihan militer bersama AS-Korsel ini.


Sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/25/07251948/AS.Korsel.Mulai.Latihan.Gabungan.Militer

Di Balik Normalisasi Kerja Sama RI-AS

Minggu, 25 Juli 2010 | 09:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada yang luput dari perhatian saat Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro menggelar konferensi pers seusai bertemu Menteri Pertahanan AS Robert Gates, Kamis (22/7/2010). Perhatian terpusat pada normalisasi Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan elite TNI AD, dengan AS. Padahal, Purnomo mengeksplorasi beberapa hal yang menjadi pusat perhatian Gates, yaitu pengamanan Laut China Selatan.

Soal ini, AS meminta Indonesia menjaga terusan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) agar bebas ancaman. Kepentingan AS soal Laut China Selatan meningkat. Ini akibat semakin intensifnya Angkatan Laut China yang mengubah strategi dari pertahanan lepas pantai menjadi pertahanan laut jauh.

Pada 18 Maret lalu, enam kapal perang China pertama kali melakukan latihan perang di Fiery Cross Reef, kepulauan di antara Vietnam-Malaysia–Filipina. Lalu, menurut New York Times, seorang pejabat militer China menyebut Laut China Selatan sebagai core national interest yang sejajar dengan Tibet. Tindakan China makin menjadi-jadi di Laut China Selatan.
Peran Indonesia sebagai negara kepulauan dan kebijakan luar negeri kita yang tidak berpihak dan perkembangan demokrasi di Indonesia membuat ”Paman Sam” memberikan gula-gulanya. Hubungan militer RI-AS belum pulih. Hukum Leahy sejak 2001 membuat AS tidak boleh memberikan bantuan militer ke sebuah negara yang melanggar HAM.

Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal Lodewijk F Paulus berangkat ke AS untuk melobi. Sepulang dari AS, di Kopassus terjadi pergeseran komandan. Kini kaum muda yang menjabat di Kopassus nihil catat HAM. Kerja sama Kopassus dengan AS di bidang pendidikan dan bantuan alat adalah urusan nomor dua dibandingkan dengan penghapusan noda soal HAM. Tidak banyak yang bisa diharapkan dengan pernyataan Gates yang berbunyi, ”a measured and gradual program of security cooperation activities”. Gates juga menyatakan tetap melihat reformasi TNI dan internal Kopassus. Gates memang harus hati-hati. Pernyataannya yang abu-abu itu langsung dikomentari negatif oleh Senator Leahy dari Partai Demokrat, yang menentang pemulihan kerja sama AS dengan Kopassus.

Kopassus milik rakyat

Kopassus seharusnya tidak menganggap rangkulan basa-basi AS sebagai simbol penebusan dosa. Rakyat Indonesia adalah pemilik Kopassus. Kepada rakyatlah kewajiban terbesar Kopassus secara khusus dan TNI harus dipertanggungjawabkan. Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dengan tegas mengatakan, masalah Kopassus dianggap selesai dengan diadilinya beberapa prajurit dan perwira di Pengadilan Militer. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan demi akuntabilitas institusi TNI. Akuntabilitas bisa tercapai kalau ada pengakuan formal yang tegas akan terjadinya kejahatan HAM di masa lalu.

Deretan pekerjaan rumah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum selesai. Pengadilan Ad Hoc HAM belum juga terwujud, padahal sudah setahun DPR merekomendasikan hal tersebut untuk keluarga orang hilang sekitar tahun 1997-1998. Beberapa kasus seperti pembunuhan Rozy Munir dan hasil investigasi Komnas HAM belum ada yang pernah ditindaklanjuti. Revisi sistem Peradilan Militer juga belum selesai setelah terjadi kemandekan dalam penyusunan RUU ini dalam periode DPR lalu. (EDN)

Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2010/07/25/09584737/Di.Balik.Normalisasi.Kerja.Sama.RI.AS

PEMBUANGAN SAMPAH DI SEPANJANG SELOKAN DAN PARIT, MENGOTORI LINGKUNGAN, DANAU SENTANI DAN PANTAI PAPUA.



24 July 2010
Kebiasaan Jawa-Makasar, Diterapkan Di Papua: Merusak Alam dan Lingkungan Yang Sebelumnya Terlihat Indah Nan Permai.

Sebelumnya, Papua terlihat indah dengan keindahan alam dan lingkungannya yang bersahabat dengan manusia. Tiap hirupan nafas yang dihirupkan manusia, memberikan kelegahan pada saluran pernafasan yang melegahkan paru-paru.
Namun kini sangat disayang, ketika banyak orang makasar dan Jawa masuk ke Papua, banyak hal buruk yang diterapkan di Papua, yakni dengan membuang sampah tidak pada tempatnya (membuang sampah disembarangan tempat).

Selokan dan parit berserahkan dengan barbagai jenis sampah, baik pelastik, botol, kaleng, dan lain-lainnya, yang mana sampah itu dialiri oleh air ke danau dan pantai yang mengakibatkan pantai dan danau pun ikut tercemar. Sungguh kecam manusia migrant yang merusak dan mengotori lingkungan Papua yang dulunya alamia, kini menjadi jorok dan buruk dipandang manusia.

Pemerintah kota dan tata kota serta dinas kebersihan pun tak terlihat funsinya.

Papua yang indah kini pun hancur dikotori oleh manusia yang tak memiliki kepedulian bahwa lingkungan penting untuk dibersihkan.

Hal serupa terlihat seperti di Jakarta, baik di kali ciliwung dan parit di samping istana yang membuang sampah tidak pada tempatnya, yang mengakibatkan udara di Jakarta penuh dengan polusi.

Sungguh sedih, penerapan Jawa-Makasar diterapkan di Papua.



Oleh: Marthen Goo

PROSES MARJINALISASI RAKYAT BANGSA PAPUA





Berhamburnya Rukoh Di Sepanjang Jalan Utama Jayapura, Meminggirkan Kaum Minoritas Papua.

24 July 2010.

Banyak Sekali rukoh yang kini dibangung di sepanjang jalan di Kota Jayapura. Pembagunan rukoh ini menempati tempat-tempat yang dianggap strategi. Banyaknya rukoh yang dibangun, kini pun meminggirkan orang asli Papua dari tanahnya sendiri.
Banyak dana yang mengalir ke Papua karena Otsus, kini mengajak semua orang dari luar untuk harus berbondong-bondong ke papua untuk merebut banyaknya uang otsus di Tanah Papua tersebut. Banyak pembangunan yang dibangun kiri dan kanan, namun pembangunan itu hanya diperuntuhkan oleh pendatang atau yang sering juga disebut oleh Bapak Pendeta Dr. BENNY GIAY “Pembangunan Bias Pendatang”. Hal itu terbukti dengan banyaknya rukoh yang dibuat, tapi tak satu pun rukuh itu milik Papua.

Pemerintah tak sanggup memberdayakan keaslian bagi orang asli Papua. Orang Papua selalu dianggap tidak mampu dan kemudian tidak diberdayakan. Dengan lebel itulah kemudian orang asli Papua dimarjinalisasikan


Oleh Marthen Goo

Jumat, 23 Juli 2010

Ada Kandungan Migas di Blok Pantai Barat Sarmi


Jumat, 23 Juli 2010 20:00

Ada Kandungan Migas di Blok Pantai Barat Sarmi
SPAO Ltd. Siap Melakukan Eksplorasinya Mulai Tahun Ini

Nicholas Meset Direktur Umum dan SDM PT. Sarmi Papua Petroleum berbincang - bincang dengan Bupati Sarmi Drs. E. Fonataba, MM sebelum acara presentasi potensi migas di kawasan Pantai Barat SarmiSarmi—Kurang lebih ada 100 juta barel minyak bumi dan sekitar 1,214 trilyun kubik gas bumi di blok Northtern Papua Kabupaten Sarmi yang hak dan izin pengelolaannya telah berhasil di kantongi oleh PT. Sarmi Papua Petroleum bekerja sama dengan Ridlatama Group, sebuah perusahaan yang telah malang melintang di dunia perminyakan dan gas bumi di Indonesia.

Hal tersebut di ungkapkan salah satu Komisaris PT. Sarmi Papua Petroleum Anang Mudjianto di dampingi salah seorang Direktur nya, Nicholas Messet salah seorang putra asli Sarmi yang sudah beberapa tahun terakhir ini mencetuskan dan memperjuangkan masuknya perusahaan migas di Kabupaten Sarmi, khususnya di Distrik Pantai Barat.

Dalam presentasi dan pemaparan potensi minyak dan gas yang dilakukan oleh keduanya Jumat (23/7) di Aula Kantor Bupati di Kota Baru Petam kemarin, terungkap, dari 16.000 Km2 areal yang mereka usulkan ke pemerintah pusat, seluas 8.541 Km2 telah mendapat persetujuan pemerintah pusat untuk menjadi lahan eksplorasi mereka.

“kita tanda tangan kontrak sejak 5 Mei lalu, dan sesuai rencana sekitar awal Oktober kita sudah berkantor di Sarmi dan memulai tahapan selanjutnya selama 3 tahun pertama yakni eksplorasi, dan study seismeig untuk mencari titik penggalian yang tepat dari areal yang telah disetujui”, jelas Anang Mudjiantoro di hadapan beberapa masyarakat dari Pantai Barat.

Disinggung mengenai kompensasi, Nicholas Meset menegaskan bahwa pihaknya tidak menggunakan pola jual beli tanah, namun nantinya pihak perusahaan jelas akan memberikan sejumlah dana sesuai kesepakatan bersama yang dinilai pantas dan di kelola oleh sebuah lembaga khusus untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat setempat.

“tanah tetap milik masyarakat, kita hanya hak pakai saja, namun yang terpenting kita coba mengembangkan satu pola CSR yang lebih mengedepakan transfer skill dan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses pekerjaan”, tambah Anang selaku Komisaris.

Sedangkan untuk kontribusi bagi daerah baik itu Kabupaten maupun Provinsi Anang belum bisa memberikan angka yang pasti, namun menurutnya aturan tentang hal itu sudah ada yang baku dan mereka jelas mengikuti aturan yang ada sebagaimana diatur oleh BP Migas.

“kita tidak bisa memberikan estimasi yang pasti tentang besaran yang akan diterima oleh daerah baik kabupaten maupun provinsi, namun sudah ada aturan dan prosentasenya yang jelas”, katanya

Sementara itu Wakil Gubernur Provinsi Papua Alex Hesegem, SE dalam lawatannya ke Pulau Liki beberapa hari lalu menegaskan bahwa setiap investor yang masuk ke Papua harus memberikan kontribusi kepada daerah dalam bentuk kepemilikan saham sehingga hasilnya bisa dirasakan secara berkesinambungan. (amr)

Sumber:
http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6141:ada-kandungan-migas-di-blok-pantai-barat-sarmi&catid=25:headline&Itemid=96

Viktor Tidak Terbukti Makar


Jumat, 23 Juli 2010 20:00
Viktor Tidak Terbukti Makar, JPU Langsung Banding

Selpius Boby dan rekan-rekannya sat memberika keterangan pers Jayapura—Viktor Yeimo yang sebelumnya dituntut penjara 3 tahun, karena didakwa dengan primair pasal 106 KUHP tentang makar subsidair pasal 160 tentang tindakan penghasutan, dinyatakan tidak terbukti oleh Majelis Hakim yang diketuai M. Zubaidi Rahmat,SH.

Demikian terungkap dalam sidang putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura kemarin. Dalam amar putusannya, majelis berpendapat apa yang dilakukan Victor Yeimo dalam aksi demo damai di Expo Waena hingga berakhir di Kantor DPR Papua belum dapat dikatakan sebagai tindakan permulaan atau permulaan pelaksanaan tindakan makar.

Namun dari dakwaan subsidair, yaitu pasal 160 KUHP tentang tindakan penghasutan, Majelis Hakim berpedapat terbukti secara sah dan meyakinkan.

Yakni tindakan terdakwa yang selaku Korlap aksi demo 10 Maret 2009 yang meneriakkan yel yel ‘Papua dan disambut para demonstran dengan kata merdeka’. Dilanjutkan dengan teriakan terdakwa ‘Otsus’ yang dijawab ‘No’ serta teriakan ‘referendum’ yang dijawan ‘yes’ serta yel-yel lainnya.

Sehingga kepada terdakwa Majelis Hakim hanya menyatakan dakwaan primair pasal 160 yang terbukti. Atas putusan tersebut, JPU Maskel Rambolangi,SH dan Achmad Kobarubun,SH yang sebelumnya menutut terdakwa tiga tahun penjara langsung menyatakan banding sebelum sidang ditutup.

Terdakwa Victor Yeimo-pun langsung emosi dan sempat melontarkan kata-kata ‘mau buktikan apa lagi’ kepada JPU setelah ditanyakan sikapnya atas putusan majelis.

setelah berunding dengan Penasehat Hukumnya, Gustaf Kawer,SH,M.Si, Robert Korwa,SH dan Iwan Niode,SH, melalui Penasehat Hukumnya, Victor Yeimo menyatakan pikir-pikir.

Maskel Rambolangi,SH saat ditemui mengatakan, pihaknya selaku JPU tetap berkeyakinan dakwaan primairnya, yaitu pasal 106 KUHP tentang makar terbukti di dalam persidangan. ‘’Karena kami rasa pasal 106 KUHP itu memang terbukti di dalam persidangan. Sehingga kami putuskan langsung banding,’’ ungkapnya.

Sementara itu, Selpius Boby yang kemarin tampak serius mengikuti sepanjang sidang putusan tersebut mengatakan bahwa satu haripun vonis yang diberikan tidak dapat diterimanya. ‘’Karena kami menilai bahwa KUHP itu adalah buatan Belanda saat menjajah Indonesia,’’ tandasnya kepada wartawan di Asrama Nayak sepulang dari PN Jayapura.

Dan terkait aksi demo damai dan apa yang dijadikan aspirasinya, menurutnya sudah dijamin undang-undang, terutama Pembukaan UUD 45 alinea pertama yang menjamin hak segala bangsa untuk merdeka. ‘’Dan undang-undang internasional juga menyatakan jaminan yang sama,’’ tegasnya. (cr-10)

Sumber:
http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6139:viktor-tidak-terbukti-makar&catid=25:headline&Itemid=96

Rekening Jenderal : Polri Harus Buka Kesempatan Penegak Hukum Lain untuk Ikut Mengusut

Sabtu, 24/07/2010 09:13 WIB

Indra Subagja - detikNews
Jakarta - Mabes Polri boleh saja mengatakan kasus rekening perwira polisi sudah selesai. Tapi masih banyak masyarakat yang menaruh kecurigaan. Untuk itu tidak ada salahnya kalau lembaga lain seperti KPK diminta ikut memeriksa.

"Polri jangan terlalu otoriter, jangan merasa sendiri sebagai penegak hukum. Masih ada yang lain, tentu Polri ingin bekerja sesuai harapan," kata pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, di Jakarta, Sabtu (24/7/2010).

Bambang menjelaskan, Polri harus bisa bersikap arif dan terbuka dalam kasus rekening ini. Apalagi di era demokratisasi dan keterbukaan, termasuk dalam lembaga kepolisian.

"Polri harus terbuka dengan masukan, baik dari PPATK ataupun KPK," imbuhnya.

Dosen PTIK ini menilai saat ini ada keraguan dari masyarakat dalam pengusutan kasus itu karena penyelidik dari kalangan internal Polri. "Lembaga kepolisian harus bisa memberikan harapan kepada masyarakat," tutupnya.

Sebelumnya Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri pada Jumat (23/7) menyatakan bahwa pengusutan kasus rekening sudah tuntas dan final. Hasil penyelidikan Polri yang diumumkan beberapa waktu lalu menyebutkan, dari 23 rekening perwira Polri yang dilaporkan PPATK, 17 diantaranya wajar dan 6 masih diselidiki.
(ndr/ape)

Sumber:
http://www.detiknews.com/read/2010/07/24/091341/1405689/10/polri-harus-buka-kesempatan-penegak-hukum-lain-untuk-ikut-mengusut?991102605

ANTISIPASI PENEMBAKAN: Pelintas di Puncak Jaya Akan Dikawal Polisi


JAYAPURA, KOMPAS.com - Kepolisian Daerah Papua mengimbau pengendara mobil yang akan melintasi jalur Wamena-Puncak Jaya agar meminta pengawalan aparat keamanan. Hal itu dilakukan sebagai antisipasi terhadap terulangnya kejadian penghadangan dan penembakan yang dilakukan kelompok bersenjata kepada konvoi pembawa kebutuhan pokok yang terjadi Rabu (21/7/2010) lalu.
Tugas kami adalah menjaga keamanan, jadi tidak dipungut biaya untuk meminta pengawalan dari polisi.
-- Kombes Wachyono

Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Wachyono, Jumat (23/7/2010) di Jayapura, mengatakan bahwa polisi setiap saat siap mengawal konvoi kendaraan dari Wamena-Mulia dan sebaliknya.

”Tugas kami adalah menjaga keamanan, jadi tidak dipungut biaya untuk meminta pengawalan dari polisi,” ujar Wachyono.

Ia mengakui, pengawalan oleh polisi tidak menjamin bahwa pelintas akan benar-benar bebas dari gangguan, tetapi paling tidak lebih menjamin keamanan. Pasalnya, dalam peristiwa 21 Juli itu, konvoi empat truk pembawa bahan pokok dan solar tersebut tidak dikawal aparat.

Rabu, sekitar pukul 13.30, sesampai di Kampung Pagargom, iring-iringan empat mobil pembawa bahan pokok dan solar tiba-tiba diberondong sekelompok orang dari arah perbukitan. Rentetan tembakan senjata api membuat para penumpang dan sopir kalang kabut menyelamatkan diri meskipun tiga orang dari rombongan itu terkena tembakan.

Untungnya, tidak ada korban yang mengalami luka serius, dan mereka berhasil menyelamatkan diri. Namun, tiga mobil dibakar dan isinya dirampas.

Wachyono menuturkan, hingga kini polisi terus meningkatkan patroli di area itu dan melakukan pengejaran. Hanya saja, aparat belum berhasil menangkap pelakunya.

Mantan Kepala Sekolah Polisi Negara Jayapura ini mengatakan belum perlu menambahkan pasukan ke Puncak Jaya. Saat ini bantuan dua satuan setingkat kompi Brimob dari luar Papua ditempatkan di Mulia dan pos- pos polisi. Sementara terdapat sekitar 10 pos TNI di Puncak Jaya yang tiap posnya dijaga dua hingga tiga anggota.

Polda Papua mengakui bahwa Puncak Jaya yang berada di ketinggian lebih dari 3.000 meter tersebut menyulitkan fisik anggota Brimob. Suhu dapat mencapai di bawah 10 derajat celsius dan oksigen tipis sehingga membuat aparat cepat lelah saat berpatroli.

Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2010/07/24/09124480/Pelintas.di.Puncak.Jaya.Akan.Dikawal.Polisi-5

Panglima TNI: Masalah Pelanggaran HAM Sudah Selesai


Jumat, 23/07/2010 19:24 WIB
Militer AS-Kopassus Kerjasama

Jakarta - Panglima TNI Jenderal Joko Santoso menyambut gembira kerjasama militer Amerika dengan Kopassus diberlakukan lagi. Joko menegaskan bahwa dengan dimulainya kerjasama ini sebagai bukti kasus pelanggaran HAM sudah selesai.

"Saya kira soal HAM sudah selesai," ujar Joko kepada wartawan usai rapat Gabungan DPR dengan Menkopolhukam di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (23/7/2010).

Orang nomor satu di jajaran TNI ini mengaku sedang mempersiapkan pola kerjasama antara Kopassus dengan militer AS. Panglima berharap kerjasama ini membawa kebaikan dan memperkokoh TNI.

"Itu sedang diproses, kemarin baru tingkat kebijakan untuk bertemunya Menhan AS dengan Pak Presiden," terang Joko.

Sebelumnya diberitakan AS membuka pintu kerjasama dengan Kopassus setelah 10 tahun kerjasama ini diputuskan. Hal ini menuai pro kontra mengingat AS kala itu memutuskan hubungan dengan alasan TNI melakukan pelanggaran HAM.

(van/yid)

Sumber:
http://www.detiknews.com/read/2010/07/23/192435/1405600/10/panglima-tni-masalah-pelanggaran-ham-sudah-selesai?991102605

Jepang Kirim Pengamat Latgab AS-Korsel


Jumat, 23 Juli 2010 | 15:41 WIB

TOKYO, KOMPAS.com - Jepang Jumat (23/7/2010) akan mengirimkan empat perwira angkatan laut untuk mengamati latihan militer AS-Korsel yang dimulai pada akhir pekan, setelah tenggelamnya kapal perang Korea Selatan yang dituduh ditorpedo Korea Utara.

"Perwira Jepang itu akan berada di dalam kapal induk AS George Washington di Laut Jepang (Laut Timur) untuk menyaksikan latihan militer gabungan sebagai pengamat," kata penyataan kementerian pertahanan Jepang.

Gerakan itu dipandang sebagai demonstrasi simbolis dekatnya hubungan militer antara AS, Korea Selatan dan Jepang.

Keputusan Tokyo itu terjadi setelah Korea Utara mengulangi permintaan pembatalan latihan, satu peluang bagi Seoul dan Washington untuk memamerkan kekuatan militer mereka kepada Pyongyang.

AS dan Korsel telah memutuskan akan menggelar sekitar 10 latihan angkatan laut dalam beberapa bulan ke depan, termasuk satu yang dimulai Minggu, sebagai pencegahan terhadap Korut.

Washington dan Seoul, merujuk hasil investigasi multinasional, menuduh Korut mentorpedo kapal perang Cheonan, milik Korsel. Namun tuduhan itu dibantah keras Pyongyang.

Korea Utara mengecam bahwa latihan perang 25-28 Juli sangat berbahaya bagi penghasutan perang, yang ditujukan untuk memicu perang perang.

Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, membela bahwa latihan-latihan itu sangat penting untuk menunjukkan tekad agar tidak terintimidasi.

China sekutu utama Korut, juga menyatakan kecemasannya atas latihan perang itu dan mengatakan, latihan perang skala besar bisa memperparah ketegangan regional.

sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/23/15412720/Jepang.Kirim.Pengamat.Latgab.AS.Korsel

AS Bekukan 100 Rekening Korut


Jumat, 23 Juli 2010 | 12:40 WIB
SEOUL, KOMPAS.com - Amerika Serikat berencana membekukan sekitar 100 rekening bank luar negeri yang diduga terlibat transaksi gelap dengan Korea Utara.

"Aset-aset dalam rekening itu tampaknya uang pemimpin Kim Jong-Il yang diperlukan untuk operasional rezimnya. Jadi, ini akan menjadi pukulan serius bagi Korea Utara," kata surat kabar Korea Selatan, JoongAng Ilbo, Jumat (23/7), mengutip seorang sumber diplomat.

Surat kabar berbahasa Korea lain dan kantor berita Yonhap memuat laporan-laporan yang sama. Pada umumnya mereka mengatakan, larangan mendadak itu dimulai setelah sebuah kapal selam Korea Selatan tenggelam Maret lalu diduga ditorpedo Korea Utara, yang menewaskan 46 pelaut.

Pemeriksaan bank mulai dilakukan beberapa pekan sebelum Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Rabu, mengumumkan bahwa AS akan mengenakan sanksi baru terhadap Korea Utara, yang menenggelamkan kapal korvet itu. Laporan-laporan mengatakan, para penyelidik AS telah menemukan sekitar 200 rekening luar negeri yang berkaitan dengan Pyongyang. Sekitar 100 di antara mereka dipantau ketat karena diduga melakukan proses ekspor senjata atau kegiatan-kegiatan yang dilarang lainnya.

Rekening-rekening itu berada di dalam sekitar 10 bank di Asia Tenggara, Eropa selatan dan Timur Tengah, dan dibuka di bawah nama palsu, kata JonggAng Ilbo.

Surat kabar itu mengatakan, bank-bank itu telah membekukan rekening-rekening tersebut setelah mendapat pemberitahuan AS atas status kecurigaan mereka, sedangkan laporan lain mengatakan tindakan itu belum dilakukan. "Rekening-rekening bank itu digunakan untuk menyimpan uang hasil ekspor senjata Korea Utara, sehingga melanggar resolusi 1718 da 1874 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), dan sedang dipelajari. Juga bersama dengan rekening-rekening yang digunakan untuk pembelian barang-barang mewah yang diduga akan dipasok kepada pemimpin Korea Utara itu," kata JoongAng mengutip sumber tersebut.

Resolusi-resolusi itu dikeluarkan setelah Korea Utara melakukan uji rudal dan nuklir, larangan ekspor senjata, transaksi berkaitan dengan aktivitas nuklir dan atomnya, serta pasokan barang-barang mewah kepada Pyongyang. Selain penjualan-penjualan senjata, dana tunai dalam rekening juga diduga berasal dari pemalsuan uang, pencucian uang dan perdagangan obat, kata JoongAng.

Laporan-laporan mengatakan, Washington akan menangani penutupan rekening itu secepatnya, berlawanan dengan taktik pada kasus Banco Delta Asia pada 2005. Pada saat itu Washington mengumumkan secara terbuka mendaftarhitamkan bank Macau karena tuduhan terlibat dalam kasus pemalsuan uang Korea Utara, tuduhan yang kemudian dibantah. Tindakan itu dilakukan untuk membekukan 25 juta dollar AS di dalam rekening Korea Utara di bank itu.

Sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/23/12402821/AS.Bekukan.100.Rekening.Korut

Senator AS Sesalkan Kerja Sama Kopassus


Jumat, 23 Juli 2010 | 12:01 WIB
WASHINGTON, KOMPAS.com — Seorang senator senior Amerika Serikat (AS), Kamis (22/7/2010), menyesalkan pemulihan hubungan dengan Kopassus dan mengatakan satuan itu harus memecat petugas yang terlibat kekerasan sebelum bekerja sama lebih mendalam.

Senator Patrick Leahy dari Vermont, penggagas hukum yang melarang dukungan AS kepada militer asing yang melanggar hak asasi manusia, mengatakan, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) militer Indonesia tetap tanpa penyesalan, secara umum belum mereformasi, dan tidak akuntabel. "Saya sangat menyesal bahwa sebelum menempuh jalan untuk memulai hubungan kembali, AS tidak menerima dan Kopassus tidak melakukan reformasi sepantasnya yang kami harapkan," kata Leahy, anggota Partai Demokrat yang mengusung Presiden AS Barack Obama.

Menteri Pertahanan AS Robert Gates berkunjung ke Jakarta, Kamis, dan mengumumkan bahwa AS akan meneruskan kerja sama dengan Kopassus, pasukan elite yang terlibat operasi besar di Indonesia pada masa lalu.

Pemerintah Obama mencari cara untuk membangun hubungan dengan Indonesia, negara dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia, yang telah berubah dalam tempo satu dekade menjadi negara demokrasi dipimpin sipil. Namun, Gates mengatakan, hubungan dengan Kopassus akan terbatas pada tahap awal dan AS hanya akan mengembangkan kerja sama apabila unit Kopassus, dan keseluruhan militer Indonesia, melakukan reformasi.

Leahy, yang mengetuai Subkomite Kepatutan Senat yang berwenang untuk pendanaan kegiatan luar negeri, lega bahwa Gates tidak mengumumkan kerja sama penuh. "Melihat perkembangan dalam kerja sama bersyarat ini lebih bijak daripada langsung terjun sepenuhnya," tuturnya.

"AS dan Indonesia memiliki kepentingan yang sama dan saya mencari cara ke depan yang konsisten dengan kepentingan dan nilai kita. Saya harap itu bisa terjadi," katanya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Philip Crowley, mengatakan bahwa Pemerintah AS telah mendiskusikan keputusan mengenai Kopassus dengan legislatif AS dan menjelaskan bahwa Indonesia telah mendapat kemajuan dalam hal hak asasi manusia. "Dengan itu, kami akan membuka mata. Kopassus memiliki masa lalu yang kelam. Kami mengetahuinya. Kami akan mendorong Indonesia untuk tetap pada komitmennya," papar Crowley.

sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/23/12011462/Senator.AS.Sesalkan.Kerja.Sama.Kopassus

STATEMENT BY THE WEST PAPUA ADVOCACY TEAM REGARDING THE U.S. GOVERNMENT'S DECISION TO RESUME COOPERATION WITH THE INDONESIAN SPECIAL FORCES (KOPASSUS


STATEMENT BY THE WEST PAPUA ADVOCACY TEAM REGARDING THE U.S. GOVERNMENT'S DECISION TO RESUME COOPERATION WITH THE INDONESIAN SPECIAL FORCES (KOPASSUS)

The decision of the Obama Administration to begin "gradual and limited" engagement with the Indonesian Special Forces (Kopassus) ignores more than a decade-old, bi-partisan, bi-cameral Congressional consensus opposing assistance to that organization.

Opposition to U.S. military cooperation with Kopassus is based on that unit's undisputed record of human rights abuse, criminality and unaccountability before the law. U.S. Administration claims that the organization has recently adopted a reform course is belied by credible independent reporting that Kopassus continues to abuse human rights with impunity. A June 2009 Human Rights Watch report detailed Kopassus abuse of civilians in Merauke in the troubled province of West Papua.



see also West Papua Report

* ETAN Condemns U.S. Plan to Get Back in Bed with Indonesia's Kopassus Killers
* New Kopassus Number 2 Organized Militia in 1998-1999
* Congress Writes Administration on Kopassus Training
* Kristin Sundell: U.S. Must Not Resume Training Indonesia’s Killers
*

ETAN: U.S. Training of Kopassus: A Bad Idea Whose Time Has Not Come
*

Ed McWilliams: U.S. must back human rights, not the army, in Indonesia
* U.S. Groups Oppose Training of Indonesia's Notorious Kopassus Special Forces
* Background on Kopassus and Brimob

Administration claims that those Kopassus personnel "convicted" of human rights abuse have been removed from the organization ignores the reality that the impunity enjoyed by Kopassus personnel for decades has ensured that only a handful of Kopassus personnel have ever faced justice in a credible criminal court. In a rare example of judicial action, seven Kopassus officers were convicted of the 2001 murder of the leading Papuan political figure, Theys Eluay. Of the seven convicted of what the judge in the case termed a "torture-murder," all remain on active duty after serving brief sentences (the longest being three and one half years imprisonment). Six left Kopassus but one remains in the organization.

Administration assurances that any Kopassus candidate for U.S. training will undergo "vetting" by the State Department ignores past failures of the State Department to screen out Kopassus rights abusers and criminals.

The Administration announcement correctly notes that since the fall of the dictator Suharto, with whose military the U.S. military maintained close ties, Indonesia has been on a democratic course. But the Administration fails to acknowledge that the gravest threat to ongoing democratic progress is the Indonesian military which continues to evade civilian control. Despite 2004 legislative requirements that the military divest itself of its vast empire of legal and illegal businesses by 2009, the military retains this source of off-budget funding.

Kopassus and other military personnel continue to enjoy impunity before the law for human rights abuse and criminal activity including people trafficking and drug running as acknowledged in past U.S. State Department human rights reporting.

The Indonesian military, and particularly Kopassus and intelligence agencies continue to repress peaceful protest, most notably targeting the people of West Papua. The military, especially Kopassus, but also the U.S.-funded "Detachment 81" and the militarized police (BRIMOB), routinely intimidate, threaten and accost Papuans who non-violently resist denial of fundamental rights, illegal expropriation of their lands and marginalization. Military and police units have repeatedly conducted purportedly anti-rebel "sweep operations" in the remote Central Highlands forcing thousands of villagers into the forests where they suffer lack of food, shelter and access to medical care. Twenty percent of Kopassus personnel (approximately 1,000 personnel) are stationed in West Papua.

The U.S. Administration's decision to resume cooperation with the most criminal and unreformed element of the Indonesian military removes critical international pressure for reform and professionalization of the broader Indonesian military. It signals to Indonesian human rights advocates who have born the brunt of security force intimidation that they stand alone in their fight for respect for human rights and genuine reform in Indonesia.

contact: Ed McWilliams, edmcw @ msn.com, +1-575-648-2078

see also

West Papua Report

* ETAN Condemns U.S. Plan to Get Back in Bed with Indonesia's Kopassus Killers
*

New Kopassus Number 2 Organized Militia in 1998-1999
* Congress Writes Administration on Kopassus Training
* Kristin Sundell: U.S. Must Not Resume Training Indonesia’s Killers
*

ETAN: U.S. Training of Kopassus: A Bad Idea Whose Time Has Not Come
*

Ed McWilliams: U.S. must back human rights, not the army, in Indonesia
* U.S. Groups Oppose Training of Indonesia's Notorious Kopassus Special Forces
* Background on Kopassus and Brimob

Sumber:
http://www.etan.org/news/2010/07wpat.htm

ETAN Condemns U.S. Plan to Get Back in Bed with Indonesia's Kopassus Killers


ETAN Condemns U.S. Plan to Get Back in Bed with Indonesia's Kopassus Killers

July 22, 2010 - The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) today condemned the Obama administration's decision to resume engagement with Indonesia's notorious Kopassus special forces.

U.S. Defense Secretary Robert M. Gates meets with Indonesian President H. Susilo Bambang Yudhoyono in Jakarta, Indonesia, July 22, 2010. DoD photo by Cherie Cullen

"Slipping back into bed with Kopassus is a betrayal of the brutal unit's many victims in Timor-Leste, West Papua and throughout Indonesia. It will lead to more people to suffer abuses," said John M. Miller, National Coordinator of ETAN. "Working with Kopassus, which remain unrepentant about its long history of terrorizing civilians, will undermine efforts to achieve justice and accountability for human rights crimes in Indonesia and Timor-Leste (East Timor)."

"For years, the U.S. military provided training and other assistance to Kopassus, and when the U.S. was most involved Kopassus crimes were at their worst. While this assistance improved the Indonesian military's deadly skills, it did nothing to improve its behavior," Miller added.

"Engagement with Kopassus would violate the Leahy Law, which prohibits military assistance to units with unresolved human rights violations," said Miller. "Even the previous Bush State Department's legal counsel thought so, ruling that the Leahy prohibition applied to Kopassus as a whole."

U.S. officials, speaking to the New York Times, distinguished between soldiers who were "only implicated, not convicted' in human rights crimes. Administration officials have said that some Kopassus soldiers convicted of crimes no longer served with the unit, however many of them remain on active duty, including Lt. Col. Tri Hartomo, convicted by a military court of the murder of Papuan leader Theys Eluay in 2001.



For years, the U.S. military provided training and other assistance to Kopassus, and when the U.S. was most involved Kopassus crimes were at their worst. While this assistance improved the Indonesian military's deadly skills, it did nothing to improve its behavior.

The official American Forces Press Service wrote that a "senior defense official said Indonesia has pledged that any Kopassus member who is credibly accused of a human rights violation will be suspended pending an investigation, will be tried in a civilian court, and will be removed from the unit if convicted." Legislation transferring members of military to civilian courts for trials has yet to pass.

"The problem remains that the Indonesian military (TNI) as a whole and Kopassus in particular rarely take accusations of human rights violations seriously and few end up in any court," said ETAN's Miller. "Engaging Kopassus with only token concessions will not encourage reform, respect for rights or accountability. It may do the opposite."

Secretary of Defense Robert Gates announced in Jakarta that the U.S. "will begin a gradual, limited program of security cooperation activities" with Kopassus. U.S. officials told the media that "there would be no immediate military training," However, Gates did not say exactly what criteria will be used to decide if "to expand upon these initial steps [which] will depend upon continued implementation of reforms within Kopassus" and the TNI.

Background

Engagement with Kopassus has been opposed by human rights and victims associations in Indonesia, Timor-Leste and internationally. It has been debated within the Obama administration and in Congress.

In May 2010, 13 senior members of Congress wrote the Secretary Gates and Secretary of State Clinton concerning plans to cooperate with Kopassus. The letter called for "a reliable vetting process critical... for identifying Kopassus officials who have violated human rights" and said "the transfer of jurisdiction over human rights crimes committed by members of the military to civilian courts should be a pre-condition for engagement with Kopassus." Legislation to transfer members of the military to civilian courts has long been stalled. Trials of some soldiers before ad-hoc human rights courts, such as on East Timor, have resulted in acquittals.

Kopassus troops have been implicated in a range of human rights violations and war crimes in Aceh, West Papua, Timor-Leste and elsewhere. Although a few special forces soldiers have been convicted of the kidnapping of activists prior to the fall of the Suharto dictatorship and the 2001 murder of Theys Eluay, the perpetrators of the vast majority of human rights crimes continue to evade prosecution. Kopassus and other troops indicted by UN-backed prosecutors in Timor-Leste for crimes committed in 1999 during Timor's independence referendum remain at large.



We believe the transfer of "The problem remains that the Indonesian military (TNI) as a whole and Kopassus in particular rarely take accusations of human rights violations seriously and few end up in any court. Engaging Kopassus with only token concessions will not encourage reform, respect for rights or accountability. It may do the opposite.

Kopassus was involved in Timor-Leste from the killings of five Australian-based journalists at Balibo in 1975 prior to Indonesia's full scale invasion through its destructive withdrawal in 1999. Kopassus soldiers are alleged to have been involved in the 2002 ambush murder of three teachers (including two from the U.S.) near the Freeport mine in West Papua. The crimes of Kopassus are not only in the past. A Human Rights Watch report published last year documents how Kopassus soldiers "arrest Papuans without legal authority, and beat and mistreat those they take back to their barracks." A report by journalist Allan Nairn describes security force - including a U.S.-trained Kopassus general - involvement in the killing of activists in Aceh last year. http://www.etan.org/news/2010/03nairn.htm

The leaders of Kopassus have consistently rejected calls to hold it accountable. In April 2010 at a ceremony marking the anniversary of the unit's founding, Kopassus commander Maj. Gen. Lodewijk Paulus called allegations of past rights violations a "psychological burden." He told The Jakarta Globe "Honestly, it has become a problem and people just keep harping on them. It's not fair."

Lt. Gen. Sjafrie Sjamsoeddin, who served with Kopassus and is accused of human rights violations in East Timor and elsewhere, remains as deputy defense minister. His position is being challenged in court by victims of human rights violations in the 1998 Jakarta riots and the 1997/1998 kidnapping of student and political activists.

In 2005, the Bush administration exercised a national security waiver that allowed for full engagement with the Indonesian military for the first time since the early 1990s. The conditions for U.S. military engagement, which the Bush administration abandoned, included prosecution of those responsible for human rights violations in East Timor and elsewhere and implementation of reforms to enhance civilian control of the Indonesian military. The Bush administration waited until 2008 to propose restarting U.S. training of Kopassus, which was suspended in 1998. The State Department's legal counsel reportedly ruled that the 1997 ban on training of military units with a history of involvement in human rights violations, known as the 'Leahy law,' applied to Kopassus as a whole and the training did not go forward.

ETAN was founded in 1991 to advocate for self-determination for Indonesian-occupied Timor-Leste. Since the beginning, ETAN has worked to condition U.S. military assistance to Indonesia on respect for human rights and genuine reform. The U.S.-based organization continues to advocate for democracy, justice and human rights for Timor-Leste and Indonesia. For more information, see ETAN's web site: http://www.etan.org.

see also

WPAT: Statement Regarding the U.S. Government's Decision to Resume Cooperation with Indonesian Special Forces (Kopassus)




* New Kopassus Number 2 Organized Militia in 1998-1999
* Congress Writes Administration on Kopassus Training
* Kristin Sundell: U.S. Must Not Resume Training Indonesia’s Killers
* ETAN: U.S. Training of Kopassus: A Bad Idea Whose Time Has Not Come
* Ed McWilliams: U.S. must back human rights, not the army, in Indonesia
* U.S. Groups Oppose Training of Indonesia's Notorious Kopassus Special Forces
* Background on Kopassus and Brimob

Sumber:
http://www.etan.org/news/2010/07kopssus.htm