Senin, 09 Agustus 2010

SAATNYA NILAI KEBENARAN DINYATAKAN DAN DITEGAKKAN DI PAPUA


Setiap Pelaku Penegakan Kebenaran Di Negeri Papua, Distigmanisasi Sebagai Separatis Oleh NKRI Melalui Militernya Terlebih Khusus Oleh Pihak Kepolisian.

Senin, 9 agustus 2010, pukul 23.00 WP

Jayapura-Tertutupnya nilai kebenaran di papua, justru dilakukan oleh pihak militer, terlebih khusus kepolisian di papua. Dan hal itu sangat terbukti dan terlihat jelas dengan kasat mata oleh seluruh rakyat papua di papua. Kenyataan di papua kini pun sangat disayangkan karena rakyat tak berani tuk melawan, dikarenakan sering perlawanan moncong senjatalah yang menjadi ancaman kesehatan dan sekalipun nyawa mereka. Scenario mematikan nilai kebenaran di papua ini justru dilakukan oleh aparat negara.

Dulu ketika Indonesia belum masuk di papua, papua terlihat aman, damai dan tentram. Tak ada pembunuhan dan pembantaian. Perang suku yang dilakukan pun tidak separah kejahatan negara atas rakyat papua. Perang suku yang dilakukan itu hanya sebatas menunjukan kekuatan, sebagai kebiasaan mereka, kemudian walau panah dan tombak mengenai manusia, namun mereka dapat disembuhkan sehingga tidak ada proses kehilangan nyawa terhadap orang papua. Karena itu merupakan kebiasaan dan obat tradisional untuk penyembuhan luka pun ada pada kebiasaan pengobatan rakyat papua.

Namun sungguh kejam negara, dimana banyak sekali jenis operasi yang dilakukan di papua. Banyak juga skenario yang dibuat hanya mau menjadikan papua sebagai daerah konflik dan kemudian dijadikan lahan bisnis besar-bearan di papua. Jangankan hal itu, contoh kecil yang terlihat adalah, ketika rakyat melakukan aksi besar-besaran di DPRP, disana justru Polisi meminta dana pengamanan harus dianggarkan oleh DPRP. Biasanya dalam pengamanan, Polisi mendapatkan dana 20-100 juta bahkan lebih tergantung besar jumlah masa. Berdasarkan itu, nilai fungsi tugas kepolisian pun hilang.

Ketika rakyat papua hendak turun aksi saja pun, selalu dihadang oleh pihak kepolisian. UU yang melindungi bebsa menyampaikan aspirasi pun di papua tidak terlihat. UU tidak dijalankan di papua. Contoh ketika tahun 2008 ketika saya (marthen goo) harus menjadi penanggungjawab dan hendak aksi atas musibah Muntaber yang menewaskan 174 orang papua di dogiai saja pun tidak diijinkan oleh pihak kepolisian yang terkesan bahwa polisi mendukung kematian masyarakat di dogiyai. Sehingga fungsi kepolisan dalam perlindungan rakyat papua tidak terlihat sama sekali.

Polisi pun kemudian dengan beraninya menggunakan senjatanya jalan kelinling kota, sehingga ada upaya mematikan psikologi orang asli papua. Dan ini sebuah skenario yang sebenarnya dibangun agar rakyat takut dan tidak bangkit tuk melawan.

Rakyat yang selalu mematuhi UU, justru polisi yang melanggar UU itu. Tidak perna ada upaya menerapkan UU di tanah Papua. Baik UU bebas ekspresi maupun UU No. 21 tentang ototnomi khusus bagi propinsi papua.


Gereja Diseparatiskan

Tiap gereja yang menyuarahkan kebenaran, justru diseparatiskan. Dibilang gereja mendukung kegiatan separatis dan lainnya. Sementara gereja di tanah papua hanya hadir tuk mendekatkan umat papua kepada TUHAN-nya dan ketika umat dibantai dan dibunuh, maka sudah menjadi kewajiban gereja tuk menyuarahkan dan menyelamatkan umat TUHAN yang dibantai dan dibunuh. Jangankan umat, pendeta saja pun dibantai, ditangkap dan dibunuh. Di mata nasional dan internasional pun telah terpampang penangkapan kepada Pendeta. Isak Ondowame sebagai salah satu contoh yang dalam dakwaannya pun ia berkata, “saya punya senjata hanya Alkitab. Apakah aliktab ini bisa membunuh orang?” dalam pelaksaan kebenaran di papua, justru dimatikan oleh kekerasan negara. Pdt. Isak yang selalu mendombakan domba-dombanya saja harus dimanipulasikan oleh negara dan menangkapnya hanya karena kepentingan negara di atas tanah papua dan mengkambing hitamkan orang papua, khusunya seorang hamba TUHAN (pendeta Isak Ondoame).

Kini Pendeta Sokrates sofyan yoman yang adalah ketua Sinode Baptis pun dimintai keterangan oleh Polda, sementara Pendeta Sofyan hanya berbicara tentang betapa pentinya umat TUHAN harus diselamatkan. Selaku hamba TUHAN, ia merasa itu kewajiban sebuah hamba TUHAN. ia pun mengatakan bahwa Gereja tidak tunduk kepada pemerintah atau pun kepolisian. Gereja adalah Independen, otonom dan mandiri. Ia pun membantah surat panggilan polda itu.

Berdasarkan itu, sebenarnya gereja hanya tunduk kepada aturan TUHAN melalui kitab kehidupannya. Sungguh memalukan polisi Indonesia ini. Masa hamba TUHAN diminta menghadap polda sementara Ketua Sinode Baptis ini hanya bicara akan keselamatan domba-dombanya yang dikambing-hitamkan oleh kepentingan duniawi.

Jika hukum TUHAN saja mampu dilanggar oleh negara melalui kepolisian, bagimana dengan Undang-undang Dasar, UU dan yang lainnya…???
Ini sebuah pertanyaan yang membutuhkan renungan panjang tuk menjawabnya.


Oleh : marthen goo

Sumber dukungan lainnya:
http://papuahargadiriku.blogspot.com/2010/08/sokrates-tolak-panggilan-polda.html