Jumat, 23 Juli 2010

Ada Kandungan Migas di Blok Pantai Barat Sarmi


Jumat, 23 Juli 2010 20:00

Ada Kandungan Migas di Blok Pantai Barat Sarmi
SPAO Ltd. Siap Melakukan Eksplorasinya Mulai Tahun Ini

Nicholas Meset Direktur Umum dan SDM PT. Sarmi Papua Petroleum berbincang - bincang dengan Bupati Sarmi Drs. E. Fonataba, MM sebelum acara presentasi potensi migas di kawasan Pantai Barat SarmiSarmi—Kurang lebih ada 100 juta barel minyak bumi dan sekitar 1,214 trilyun kubik gas bumi di blok Northtern Papua Kabupaten Sarmi yang hak dan izin pengelolaannya telah berhasil di kantongi oleh PT. Sarmi Papua Petroleum bekerja sama dengan Ridlatama Group, sebuah perusahaan yang telah malang melintang di dunia perminyakan dan gas bumi di Indonesia.

Hal tersebut di ungkapkan salah satu Komisaris PT. Sarmi Papua Petroleum Anang Mudjianto di dampingi salah seorang Direktur nya, Nicholas Messet salah seorang putra asli Sarmi yang sudah beberapa tahun terakhir ini mencetuskan dan memperjuangkan masuknya perusahaan migas di Kabupaten Sarmi, khususnya di Distrik Pantai Barat.

Dalam presentasi dan pemaparan potensi minyak dan gas yang dilakukan oleh keduanya Jumat (23/7) di Aula Kantor Bupati di Kota Baru Petam kemarin, terungkap, dari 16.000 Km2 areal yang mereka usulkan ke pemerintah pusat, seluas 8.541 Km2 telah mendapat persetujuan pemerintah pusat untuk menjadi lahan eksplorasi mereka.

“kita tanda tangan kontrak sejak 5 Mei lalu, dan sesuai rencana sekitar awal Oktober kita sudah berkantor di Sarmi dan memulai tahapan selanjutnya selama 3 tahun pertama yakni eksplorasi, dan study seismeig untuk mencari titik penggalian yang tepat dari areal yang telah disetujui”, jelas Anang Mudjiantoro di hadapan beberapa masyarakat dari Pantai Barat.

Disinggung mengenai kompensasi, Nicholas Meset menegaskan bahwa pihaknya tidak menggunakan pola jual beli tanah, namun nantinya pihak perusahaan jelas akan memberikan sejumlah dana sesuai kesepakatan bersama yang dinilai pantas dan di kelola oleh sebuah lembaga khusus untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat setempat.

“tanah tetap milik masyarakat, kita hanya hak pakai saja, namun yang terpenting kita coba mengembangkan satu pola CSR yang lebih mengedepakan transfer skill dan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses pekerjaan”, tambah Anang selaku Komisaris.

Sedangkan untuk kontribusi bagi daerah baik itu Kabupaten maupun Provinsi Anang belum bisa memberikan angka yang pasti, namun menurutnya aturan tentang hal itu sudah ada yang baku dan mereka jelas mengikuti aturan yang ada sebagaimana diatur oleh BP Migas.

“kita tidak bisa memberikan estimasi yang pasti tentang besaran yang akan diterima oleh daerah baik kabupaten maupun provinsi, namun sudah ada aturan dan prosentasenya yang jelas”, katanya

Sementara itu Wakil Gubernur Provinsi Papua Alex Hesegem, SE dalam lawatannya ke Pulau Liki beberapa hari lalu menegaskan bahwa setiap investor yang masuk ke Papua harus memberikan kontribusi kepada daerah dalam bentuk kepemilikan saham sehingga hasilnya bisa dirasakan secara berkesinambungan. (amr)

Sumber:
http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6141:ada-kandungan-migas-di-blok-pantai-barat-sarmi&catid=25:headline&Itemid=96

Viktor Tidak Terbukti Makar


Jumat, 23 Juli 2010 20:00
Viktor Tidak Terbukti Makar, JPU Langsung Banding

Selpius Boby dan rekan-rekannya sat memberika keterangan pers Jayapura—Viktor Yeimo yang sebelumnya dituntut penjara 3 tahun, karena didakwa dengan primair pasal 106 KUHP tentang makar subsidair pasal 160 tentang tindakan penghasutan, dinyatakan tidak terbukti oleh Majelis Hakim yang diketuai M. Zubaidi Rahmat,SH.

Demikian terungkap dalam sidang putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura kemarin. Dalam amar putusannya, majelis berpendapat apa yang dilakukan Victor Yeimo dalam aksi demo damai di Expo Waena hingga berakhir di Kantor DPR Papua belum dapat dikatakan sebagai tindakan permulaan atau permulaan pelaksanaan tindakan makar.

Namun dari dakwaan subsidair, yaitu pasal 160 KUHP tentang tindakan penghasutan, Majelis Hakim berpedapat terbukti secara sah dan meyakinkan.

Yakni tindakan terdakwa yang selaku Korlap aksi demo 10 Maret 2009 yang meneriakkan yel yel ‘Papua dan disambut para demonstran dengan kata merdeka’. Dilanjutkan dengan teriakan terdakwa ‘Otsus’ yang dijawab ‘No’ serta teriakan ‘referendum’ yang dijawan ‘yes’ serta yel-yel lainnya.

Sehingga kepada terdakwa Majelis Hakim hanya menyatakan dakwaan primair pasal 160 yang terbukti. Atas putusan tersebut, JPU Maskel Rambolangi,SH dan Achmad Kobarubun,SH yang sebelumnya menutut terdakwa tiga tahun penjara langsung menyatakan banding sebelum sidang ditutup.

Terdakwa Victor Yeimo-pun langsung emosi dan sempat melontarkan kata-kata ‘mau buktikan apa lagi’ kepada JPU setelah ditanyakan sikapnya atas putusan majelis.

setelah berunding dengan Penasehat Hukumnya, Gustaf Kawer,SH,M.Si, Robert Korwa,SH dan Iwan Niode,SH, melalui Penasehat Hukumnya, Victor Yeimo menyatakan pikir-pikir.

Maskel Rambolangi,SH saat ditemui mengatakan, pihaknya selaku JPU tetap berkeyakinan dakwaan primairnya, yaitu pasal 106 KUHP tentang makar terbukti di dalam persidangan. ‘’Karena kami rasa pasal 106 KUHP itu memang terbukti di dalam persidangan. Sehingga kami putuskan langsung banding,’’ ungkapnya.

Sementara itu, Selpius Boby yang kemarin tampak serius mengikuti sepanjang sidang putusan tersebut mengatakan bahwa satu haripun vonis yang diberikan tidak dapat diterimanya. ‘’Karena kami menilai bahwa KUHP itu adalah buatan Belanda saat menjajah Indonesia,’’ tandasnya kepada wartawan di Asrama Nayak sepulang dari PN Jayapura.

Dan terkait aksi demo damai dan apa yang dijadikan aspirasinya, menurutnya sudah dijamin undang-undang, terutama Pembukaan UUD 45 alinea pertama yang menjamin hak segala bangsa untuk merdeka. ‘’Dan undang-undang internasional juga menyatakan jaminan yang sama,’’ tegasnya. (cr-10)

Sumber:
http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6139:viktor-tidak-terbukti-makar&catid=25:headline&Itemid=96

Rekening Jenderal : Polri Harus Buka Kesempatan Penegak Hukum Lain untuk Ikut Mengusut

Sabtu, 24/07/2010 09:13 WIB

Indra Subagja - detikNews
Jakarta - Mabes Polri boleh saja mengatakan kasus rekening perwira polisi sudah selesai. Tapi masih banyak masyarakat yang menaruh kecurigaan. Untuk itu tidak ada salahnya kalau lembaga lain seperti KPK diminta ikut memeriksa.

"Polri jangan terlalu otoriter, jangan merasa sendiri sebagai penegak hukum. Masih ada yang lain, tentu Polri ingin bekerja sesuai harapan," kata pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, di Jakarta, Sabtu (24/7/2010).

Bambang menjelaskan, Polri harus bisa bersikap arif dan terbuka dalam kasus rekening ini. Apalagi di era demokratisasi dan keterbukaan, termasuk dalam lembaga kepolisian.

"Polri harus terbuka dengan masukan, baik dari PPATK ataupun KPK," imbuhnya.

Dosen PTIK ini menilai saat ini ada keraguan dari masyarakat dalam pengusutan kasus itu karena penyelidik dari kalangan internal Polri. "Lembaga kepolisian harus bisa memberikan harapan kepada masyarakat," tutupnya.

Sebelumnya Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri pada Jumat (23/7) menyatakan bahwa pengusutan kasus rekening sudah tuntas dan final. Hasil penyelidikan Polri yang diumumkan beberapa waktu lalu menyebutkan, dari 23 rekening perwira Polri yang dilaporkan PPATK, 17 diantaranya wajar dan 6 masih diselidiki.
(ndr/ape)

Sumber:
http://www.detiknews.com/read/2010/07/24/091341/1405689/10/polri-harus-buka-kesempatan-penegak-hukum-lain-untuk-ikut-mengusut?991102605

ANTISIPASI PENEMBAKAN: Pelintas di Puncak Jaya Akan Dikawal Polisi


JAYAPURA, KOMPAS.com - Kepolisian Daerah Papua mengimbau pengendara mobil yang akan melintasi jalur Wamena-Puncak Jaya agar meminta pengawalan aparat keamanan. Hal itu dilakukan sebagai antisipasi terhadap terulangnya kejadian penghadangan dan penembakan yang dilakukan kelompok bersenjata kepada konvoi pembawa kebutuhan pokok yang terjadi Rabu (21/7/2010) lalu.
Tugas kami adalah menjaga keamanan, jadi tidak dipungut biaya untuk meminta pengawalan dari polisi.
-- Kombes Wachyono

Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Wachyono, Jumat (23/7/2010) di Jayapura, mengatakan bahwa polisi setiap saat siap mengawal konvoi kendaraan dari Wamena-Mulia dan sebaliknya.

”Tugas kami adalah menjaga keamanan, jadi tidak dipungut biaya untuk meminta pengawalan dari polisi,” ujar Wachyono.

Ia mengakui, pengawalan oleh polisi tidak menjamin bahwa pelintas akan benar-benar bebas dari gangguan, tetapi paling tidak lebih menjamin keamanan. Pasalnya, dalam peristiwa 21 Juli itu, konvoi empat truk pembawa bahan pokok dan solar tersebut tidak dikawal aparat.

Rabu, sekitar pukul 13.30, sesampai di Kampung Pagargom, iring-iringan empat mobil pembawa bahan pokok dan solar tiba-tiba diberondong sekelompok orang dari arah perbukitan. Rentetan tembakan senjata api membuat para penumpang dan sopir kalang kabut menyelamatkan diri meskipun tiga orang dari rombongan itu terkena tembakan.

Untungnya, tidak ada korban yang mengalami luka serius, dan mereka berhasil menyelamatkan diri. Namun, tiga mobil dibakar dan isinya dirampas.

Wachyono menuturkan, hingga kini polisi terus meningkatkan patroli di area itu dan melakukan pengejaran. Hanya saja, aparat belum berhasil menangkap pelakunya.

Mantan Kepala Sekolah Polisi Negara Jayapura ini mengatakan belum perlu menambahkan pasukan ke Puncak Jaya. Saat ini bantuan dua satuan setingkat kompi Brimob dari luar Papua ditempatkan di Mulia dan pos- pos polisi. Sementara terdapat sekitar 10 pos TNI di Puncak Jaya yang tiap posnya dijaga dua hingga tiga anggota.

Polda Papua mengakui bahwa Puncak Jaya yang berada di ketinggian lebih dari 3.000 meter tersebut menyulitkan fisik anggota Brimob. Suhu dapat mencapai di bawah 10 derajat celsius dan oksigen tipis sehingga membuat aparat cepat lelah saat berpatroli.

Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2010/07/24/09124480/Pelintas.di.Puncak.Jaya.Akan.Dikawal.Polisi-5

Panglima TNI: Masalah Pelanggaran HAM Sudah Selesai


Jumat, 23/07/2010 19:24 WIB
Militer AS-Kopassus Kerjasama

Jakarta - Panglima TNI Jenderal Joko Santoso menyambut gembira kerjasama militer Amerika dengan Kopassus diberlakukan lagi. Joko menegaskan bahwa dengan dimulainya kerjasama ini sebagai bukti kasus pelanggaran HAM sudah selesai.

"Saya kira soal HAM sudah selesai," ujar Joko kepada wartawan usai rapat Gabungan DPR dengan Menkopolhukam di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (23/7/2010).

Orang nomor satu di jajaran TNI ini mengaku sedang mempersiapkan pola kerjasama antara Kopassus dengan militer AS. Panglima berharap kerjasama ini membawa kebaikan dan memperkokoh TNI.

"Itu sedang diproses, kemarin baru tingkat kebijakan untuk bertemunya Menhan AS dengan Pak Presiden," terang Joko.

Sebelumnya diberitakan AS membuka pintu kerjasama dengan Kopassus setelah 10 tahun kerjasama ini diputuskan. Hal ini menuai pro kontra mengingat AS kala itu memutuskan hubungan dengan alasan TNI melakukan pelanggaran HAM.

(van/yid)

Sumber:
http://www.detiknews.com/read/2010/07/23/192435/1405600/10/panglima-tni-masalah-pelanggaran-ham-sudah-selesai?991102605

Jepang Kirim Pengamat Latgab AS-Korsel


Jumat, 23 Juli 2010 | 15:41 WIB

TOKYO, KOMPAS.com - Jepang Jumat (23/7/2010) akan mengirimkan empat perwira angkatan laut untuk mengamati latihan militer AS-Korsel yang dimulai pada akhir pekan, setelah tenggelamnya kapal perang Korea Selatan yang dituduh ditorpedo Korea Utara.

"Perwira Jepang itu akan berada di dalam kapal induk AS George Washington di Laut Jepang (Laut Timur) untuk menyaksikan latihan militer gabungan sebagai pengamat," kata penyataan kementerian pertahanan Jepang.

Gerakan itu dipandang sebagai demonstrasi simbolis dekatnya hubungan militer antara AS, Korea Selatan dan Jepang.

Keputusan Tokyo itu terjadi setelah Korea Utara mengulangi permintaan pembatalan latihan, satu peluang bagi Seoul dan Washington untuk memamerkan kekuatan militer mereka kepada Pyongyang.

AS dan Korsel telah memutuskan akan menggelar sekitar 10 latihan angkatan laut dalam beberapa bulan ke depan, termasuk satu yang dimulai Minggu, sebagai pencegahan terhadap Korut.

Washington dan Seoul, merujuk hasil investigasi multinasional, menuduh Korut mentorpedo kapal perang Cheonan, milik Korsel. Namun tuduhan itu dibantah keras Pyongyang.

Korea Utara mengecam bahwa latihan perang 25-28 Juli sangat berbahaya bagi penghasutan perang, yang ditujukan untuk memicu perang perang.

Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, membela bahwa latihan-latihan itu sangat penting untuk menunjukkan tekad agar tidak terintimidasi.

China sekutu utama Korut, juga menyatakan kecemasannya atas latihan perang itu dan mengatakan, latihan perang skala besar bisa memperparah ketegangan regional.

sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/23/15412720/Jepang.Kirim.Pengamat.Latgab.AS.Korsel

AS Bekukan 100 Rekening Korut


Jumat, 23 Juli 2010 | 12:40 WIB
SEOUL, KOMPAS.com - Amerika Serikat berencana membekukan sekitar 100 rekening bank luar negeri yang diduga terlibat transaksi gelap dengan Korea Utara.

"Aset-aset dalam rekening itu tampaknya uang pemimpin Kim Jong-Il yang diperlukan untuk operasional rezimnya. Jadi, ini akan menjadi pukulan serius bagi Korea Utara," kata surat kabar Korea Selatan, JoongAng Ilbo, Jumat (23/7), mengutip seorang sumber diplomat.

Surat kabar berbahasa Korea lain dan kantor berita Yonhap memuat laporan-laporan yang sama. Pada umumnya mereka mengatakan, larangan mendadak itu dimulai setelah sebuah kapal selam Korea Selatan tenggelam Maret lalu diduga ditorpedo Korea Utara, yang menewaskan 46 pelaut.

Pemeriksaan bank mulai dilakukan beberapa pekan sebelum Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Rabu, mengumumkan bahwa AS akan mengenakan sanksi baru terhadap Korea Utara, yang menenggelamkan kapal korvet itu. Laporan-laporan mengatakan, para penyelidik AS telah menemukan sekitar 200 rekening luar negeri yang berkaitan dengan Pyongyang. Sekitar 100 di antara mereka dipantau ketat karena diduga melakukan proses ekspor senjata atau kegiatan-kegiatan yang dilarang lainnya.

Rekening-rekening itu berada di dalam sekitar 10 bank di Asia Tenggara, Eropa selatan dan Timur Tengah, dan dibuka di bawah nama palsu, kata JonggAng Ilbo.

Surat kabar itu mengatakan, bank-bank itu telah membekukan rekening-rekening tersebut setelah mendapat pemberitahuan AS atas status kecurigaan mereka, sedangkan laporan lain mengatakan tindakan itu belum dilakukan. "Rekening-rekening bank itu digunakan untuk menyimpan uang hasil ekspor senjata Korea Utara, sehingga melanggar resolusi 1718 da 1874 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), dan sedang dipelajari. Juga bersama dengan rekening-rekening yang digunakan untuk pembelian barang-barang mewah yang diduga akan dipasok kepada pemimpin Korea Utara itu," kata JoongAng mengutip sumber tersebut.

Resolusi-resolusi itu dikeluarkan setelah Korea Utara melakukan uji rudal dan nuklir, larangan ekspor senjata, transaksi berkaitan dengan aktivitas nuklir dan atomnya, serta pasokan barang-barang mewah kepada Pyongyang. Selain penjualan-penjualan senjata, dana tunai dalam rekening juga diduga berasal dari pemalsuan uang, pencucian uang dan perdagangan obat, kata JoongAng.

Laporan-laporan mengatakan, Washington akan menangani penutupan rekening itu secepatnya, berlawanan dengan taktik pada kasus Banco Delta Asia pada 2005. Pada saat itu Washington mengumumkan secara terbuka mendaftarhitamkan bank Macau karena tuduhan terlibat dalam kasus pemalsuan uang Korea Utara, tuduhan yang kemudian dibantah. Tindakan itu dilakukan untuk membekukan 25 juta dollar AS di dalam rekening Korea Utara di bank itu.

Sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/23/12402821/AS.Bekukan.100.Rekening.Korut

Senator AS Sesalkan Kerja Sama Kopassus


Jumat, 23 Juli 2010 | 12:01 WIB
WASHINGTON, KOMPAS.com — Seorang senator senior Amerika Serikat (AS), Kamis (22/7/2010), menyesalkan pemulihan hubungan dengan Kopassus dan mengatakan satuan itu harus memecat petugas yang terlibat kekerasan sebelum bekerja sama lebih mendalam.

Senator Patrick Leahy dari Vermont, penggagas hukum yang melarang dukungan AS kepada militer asing yang melanggar hak asasi manusia, mengatakan, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) militer Indonesia tetap tanpa penyesalan, secara umum belum mereformasi, dan tidak akuntabel. "Saya sangat menyesal bahwa sebelum menempuh jalan untuk memulai hubungan kembali, AS tidak menerima dan Kopassus tidak melakukan reformasi sepantasnya yang kami harapkan," kata Leahy, anggota Partai Demokrat yang mengusung Presiden AS Barack Obama.

Menteri Pertahanan AS Robert Gates berkunjung ke Jakarta, Kamis, dan mengumumkan bahwa AS akan meneruskan kerja sama dengan Kopassus, pasukan elite yang terlibat operasi besar di Indonesia pada masa lalu.

Pemerintah Obama mencari cara untuk membangun hubungan dengan Indonesia, negara dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia, yang telah berubah dalam tempo satu dekade menjadi negara demokrasi dipimpin sipil. Namun, Gates mengatakan, hubungan dengan Kopassus akan terbatas pada tahap awal dan AS hanya akan mengembangkan kerja sama apabila unit Kopassus, dan keseluruhan militer Indonesia, melakukan reformasi.

Leahy, yang mengetuai Subkomite Kepatutan Senat yang berwenang untuk pendanaan kegiatan luar negeri, lega bahwa Gates tidak mengumumkan kerja sama penuh. "Melihat perkembangan dalam kerja sama bersyarat ini lebih bijak daripada langsung terjun sepenuhnya," tuturnya.

"AS dan Indonesia memiliki kepentingan yang sama dan saya mencari cara ke depan yang konsisten dengan kepentingan dan nilai kita. Saya harap itu bisa terjadi," katanya.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Philip Crowley, mengatakan bahwa Pemerintah AS telah mendiskusikan keputusan mengenai Kopassus dengan legislatif AS dan menjelaskan bahwa Indonesia telah mendapat kemajuan dalam hal hak asasi manusia. "Dengan itu, kami akan membuka mata. Kopassus memiliki masa lalu yang kelam. Kami mengetahuinya. Kami akan mendorong Indonesia untuk tetap pada komitmennya," papar Crowley.

sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/23/12011462/Senator.AS.Sesalkan.Kerja.Sama.Kopassus

STATEMENT BY THE WEST PAPUA ADVOCACY TEAM REGARDING THE U.S. GOVERNMENT'S DECISION TO RESUME COOPERATION WITH THE INDONESIAN SPECIAL FORCES (KOPASSUS


STATEMENT BY THE WEST PAPUA ADVOCACY TEAM REGARDING THE U.S. GOVERNMENT'S DECISION TO RESUME COOPERATION WITH THE INDONESIAN SPECIAL FORCES (KOPASSUS)

The decision of the Obama Administration to begin "gradual and limited" engagement with the Indonesian Special Forces (Kopassus) ignores more than a decade-old, bi-partisan, bi-cameral Congressional consensus opposing assistance to that organization.

Opposition to U.S. military cooperation with Kopassus is based on that unit's undisputed record of human rights abuse, criminality and unaccountability before the law. U.S. Administration claims that the organization has recently adopted a reform course is belied by credible independent reporting that Kopassus continues to abuse human rights with impunity. A June 2009 Human Rights Watch report detailed Kopassus abuse of civilians in Merauke in the troubled province of West Papua.



see also West Papua Report

* ETAN Condemns U.S. Plan to Get Back in Bed with Indonesia's Kopassus Killers
* New Kopassus Number 2 Organized Militia in 1998-1999
* Congress Writes Administration on Kopassus Training
* Kristin Sundell: U.S. Must Not Resume Training Indonesia’s Killers
*

ETAN: U.S. Training of Kopassus: A Bad Idea Whose Time Has Not Come
*

Ed McWilliams: U.S. must back human rights, not the army, in Indonesia
* U.S. Groups Oppose Training of Indonesia's Notorious Kopassus Special Forces
* Background on Kopassus and Brimob

Administration claims that those Kopassus personnel "convicted" of human rights abuse have been removed from the organization ignores the reality that the impunity enjoyed by Kopassus personnel for decades has ensured that only a handful of Kopassus personnel have ever faced justice in a credible criminal court. In a rare example of judicial action, seven Kopassus officers were convicted of the 2001 murder of the leading Papuan political figure, Theys Eluay. Of the seven convicted of what the judge in the case termed a "torture-murder," all remain on active duty after serving brief sentences (the longest being three and one half years imprisonment). Six left Kopassus but one remains in the organization.

Administration assurances that any Kopassus candidate for U.S. training will undergo "vetting" by the State Department ignores past failures of the State Department to screen out Kopassus rights abusers and criminals.

The Administration announcement correctly notes that since the fall of the dictator Suharto, with whose military the U.S. military maintained close ties, Indonesia has been on a democratic course. But the Administration fails to acknowledge that the gravest threat to ongoing democratic progress is the Indonesian military which continues to evade civilian control. Despite 2004 legislative requirements that the military divest itself of its vast empire of legal and illegal businesses by 2009, the military retains this source of off-budget funding.

Kopassus and other military personnel continue to enjoy impunity before the law for human rights abuse and criminal activity including people trafficking and drug running as acknowledged in past U.S. State Department human rights reporting.

The Indonesian military, and particularly Kopassus and intelligence agencies continue to repress peaceful protest, most notably targeting the people of West Papua. The military, especially Kopassus, but also the U.S.-funded "Detachment 81" and the militarized police (BRIMOB), routinely intimidate, threaten and accost Papuans who non-violently resist denial of fundamental rights, illegal expropriation of their lands and marginalization. Military and police units have repeatedly conducted purportedly anti-rebel "sweep operations" in the remote Central Highlands forcing thousands of villagers into the forests where they suffer lack of food, shelter and access to medical care. Twenty percent of Kopassus personnel (approximately 1,000 personnel) are stationed in West Papua.

The U.S. Administration's decision to resume cooperation with the most criminal and unreformed element of the Indonesian military removes critical international pressure for reform and professionalization of the broader Indonesian military. It signals to Indonesian human rights advocates who have born the brunt of security force intimidation that they stand alone in their fight for respect for human rights and genuine reform in Indonesia.

contact: Ed McWilliams, edmcw @ msn.com, +1-575-648-2078

see also

West Papua Report

* ETAN Condemns U.S. Plan to Get Back in Bed with Indonesia's Kopassus Killers
*

New Kopassus Number 2 Organized Militia in 1998-1999
* Congress Writes Administration on Kopassus Training
* Kristin Sundell: U.S. Must Not Resume Training Indonesia’s Killers
*

ETAN: U.S. Training of Kopassus: A Bad Idea Whose Time Has Not Come
*

Ed McWilliams: U.S. must back human rights, not the army, in Indonesia
* U.S. Groups Oppose Training of Indonesia's Notorious Kopassus Special Forces
* Background on Kopassus and Brimob

Sumber:
http://www.etan.org/news/2010/07wpat.htm

ETAN Condemns U.S. Plan to Get Back in Bed with Indonesia's Kopassus Killers


ETAN Condemns U.S. Plan to Get Back in Bed with Indonesia's Kopassus Killers

July 22, 2010 - The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) today condemned the Obama administration's decision to resume engagement with Indonesia's notorious Kopassus special forces.

U.S. Defense Secretary Robert M. Gates meets with Indonesian President H. Susilo Bambang Yudhoyono in Jakarta, Indonesia, July 22, 2010. DoD photo by Cherie Cullen

"Slipping back into bed with Kopassus is a betrayal of the brutal unit's many victims in Timor-Leste, West Papua and throughout Indonesia. It will lead to more people to suffer abuses," said John M. Miller, National Coordinator of ETAN. "Working with Kopassus, which remain unrepentant about its long history of terrorizing civilians, will undermine efforts to achieve justice and accountability for human rights crimes in Indonesia and Timor-Leste (East Timor)."

"For years, the U.S. military provided training and other assistance to Kopassus, and when the U.S. was most involved Kopassus crimes were at their worst. While this assistance improved the Indonesian military's deadly skills, it did nothing to improve its behavior," Miller added.

"Engagement with Kopassus would violate the Leahy Law, which prohibits military assistance to units with unresolved human rights violations," said Miller. "Even the previous Bush State Department's legal counsel thought so, ruling that the Leahy prohibition applied to Kopassus as a whole."

U.S. officials, speaking to the New York Times, distinguished between soldiers who were "only implicated, not convicted' in human rights crimes. Administration officials have said that some Kopassus soldiers convicted of crimes no longer served with the unit, however many of them remain on active duty, including Lt. Col. Tri Hartomo, convicted by a military court of the murder of Papuan leader Theys Eluay in 2001.



For years, the U.S. military provided training and other assistance to Kopassus, and when the U.S. was most involved Kopassus crimes were at their worst. While this assistance improved the Indonesian military's deadly skills, it did nothing to improve its behavior.

The official American Forces Press Service wrote that a "senior defense official said Indonesia has pledged that any Kopassus member who is credibly accused of a human rights violation will be suspended pending an investigation, will be tried in a civilian court, and will be removed from the unit if convicted." Legislation transferring members of military to civilian courts for trials has yet to pass.

"The problem remains that the Indonesian military (TNI) as a whole and Kopassus in particular rarely take accusations of human rights violations seriously and few end up in any court," said ETAN's Miller. "Engaging Kopassus with only token concessions will not encourage reform, respect for rights or accountability. It may do the opposite."

Secretary of Defense Robert Gates announced in Jakarta that the U.S. "will begin a gradual, limited program of security cooperation activities" with Kopassus. U.S. officials told the media that "there would be no immediate military training," However, Gates did not say exactly what criteria will be used to decide if "to expand upon these initial steps [which] will depend upon continued implementation of reforms within Kopassus" and the TNI.

Background

Engagement with Kopassus has been opposed by human rights and victims associations in Indonesia, Timor-Leste and internationally. It has been debated within the Obama administration and in Congress.

In May 2010, 13 senior members of Congress wrote the Secretary Gates and Secretary of State Clinton concerning plans to cooperate with Kopassus. The letter called for "a reliable vetting process critical... for identifying Kopassus officials who have violated human rights" and said "the transfer of jurisdiction over human rights crimes committed by members of the military to civilian courts should be a pre-condition for engagement with Kopassus." Legislation to transfer members of the military to civilian courts has long been stalled. Trials of some soldiers before ad-hoc human rights courts, such as on East Timor, have resulted in acquittals.

Kopassus troops have been implicated in a range of human rights violations and war crimes in Aceh, West Papua, Timor-Leste and elsewhere. Although a few special forces soldiers have been convicted of the kidnapping of activists prior to the fall of the Suharto dictatorship and the 2001 murder of Theys Eluay, the perpetrators of the vast majority of human rights crimes continue to evade prosecution. Kopassus and other troops indicted by UN-backed prosecutors in Timor-Leste for crimes committed in 1999 during Timor's independence referendum remain at large.



We believe the transfer of "The problem remains that the Indonesian military (TNI) as a whole and Kopassus in particular rarely take accusations of human rights violations seriously and few end up in any court. Engaging Kopassus with only token concessions will not encourage reform, respect for rights or accountability. It may do the opposite.

Kopassus was involved in Timor-Leste from the killings of five Australian-based journalists at Balibo in 1975 prior to Indonesia's full scale invasion through its destructive withdrawal in 1999. Kopassus soldiers are alleged to have been involved in the 2002 ambush murder of three teachers (including two from the U.S.) near the Freeport mine in West Papua. The crimes of Kopassus are not only in the past. A Human Rights Watch report published last year documents how Kopassus soldiers "arrest Papuans without legal authority, and beat and mistreat those they take back to their barracks." A report by journalist Allan Nairn describes security force - including a U.S.-trained Kopassus general - involvement in the killing of activists in Aceh last year. http://www.etan.org/news/2010/03nairn.htm

The leaders of Kopassus have consistently rejected calls to hold it accountable. In April 2010 at a ceremony marking the anniversary of the unit's founding, Kopassus commander Maj. Gen. Lodewijk Paulus called allegations of past rights violations a "psychological burden." He told The Jakarta Globe "Honestly, it has become a problem and people just keep harping on them. It's not fair."

Lt. Gen. Sjafrie Sjamsoeddin, who served with Kopassus and is accused of human rights violations in East Timor and elsewhere, remains as deputy defense minister. His position is being challenged in court by victims of human rights violations in the 1998 Jakarta riots and the 1997/1998 kidnapping of student and political activists.

In 2005, the Bush administration exercised a national security waiver that allowed for full engagement with the Indonesian military for the first time since the early 1990s. The conditions for U.S. military engagement, which the Bush administration abandoned, included prosecution of those responsible for human rights violations in East Timor and elsewhere and implementation of reforms to enhance civilian control of the Indonesian military. The Bush administration waited until 2008 to propose restarting U.S. training of Kopassus, which was suspended in 1998. The State Department's legal counsel reportedly ruled that the 1997 ban on training of military units with a history of involvement in human rights violations, known as the 'Leahy law,' applied to Kopassus as a whole and the training did not go forward.

ETAN was founded in 1991 to advocate for self-determination for Indonesian-occupied Timor-Leste. Since the beginning, ETAN has worked to condition U.S. military assistance to Indonesia on respect for human rights and genuine reform. The U.S.-based organization continues to advocate for democracy, justice and human rights for Timor-Leste and Indonesia. For more information, see ETAN's web site: http://www.etan.org.

see also

WPAT: Statement Regarding the U.S. Government's Decision to Resume Cooperation with Indonesian Special Forces (Kopassus)




* New Kopassus Number 2 Organized Militia in 1998-1999
* Congress Writes Administration on Kopassus Training
* Kristin Sundell: U.S. Must Not Resume Training Indonesia’s Killers
* ETAN: U.S. Training of Kopassus: A Bad Idea Whose Time Has Not Come
* Ed McWilliams: U.S. must back human rights, not the army, in Indonesia
* U.S. Groups Oppose Training of Indonesia's Notorious Kopassus Special Forces
* Background on Kopassus and Brimob

Sumber:
http://www.etan.org/news/2010/07kopssus.htm