Kamis, 22 Juli 2010

Kongres OPM, Inginkan Papua Merdeka


Kamis, 22 Juli 2010 22:43
Kongres OPM, Inginkan Papua Merdeka

Wagub: Stop Mimpi Merdeka, Papua Harus Sejahtera Dalam NKRI
Wakil Gubernur Provinsi Papua, Alex Hesegem SEJayapura—Salah satu hasil kongres TPN/OPM beberapa waktu lalu, memutuskan akan tetap memperjuangkan kemerdekaan Papua dalam arti, pisah dari NKRI.
Sekedar diketahui, sebelum melakukan aksi penghadanga dan pembakaran terhadap 3 unit mobil pengangkut BBM dan bahan makanan, di Tingginambut Puncak Jaya Papua, ternyata kelompok Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) sudah menggelar Kongres Besar. Hasilnya, OPM tetap akan terus berjuang untuk kemerdekaan bangsa Papua Barat. ‘’Kami bangsa Papua tetap pada pendirian semula, mempertahankan harga diri bangsa Papua menuju kemerdekaan. Rakyat Papua akan terus berjuang melepaskan diri dari NKRI,’’ ujar Sekjen Panglima OPM Anton Tabuni dalam press realese rekaman video yang dikirim kepada wartawan di Papua.
Bahkan, lanjut Anton Tabuni yang mengaku atas nama panglima tertinggi OPM Goliat Tabuni, sebagai bentuk perjuangan, pihaknya akan terus melancarkan serangan terhadap aparat keamanan Indonesia maupun pihak-pihak yang ingin menghentikan perjuangan mereka, sekalipun presiden Indonesia terus menerus menambah pasukan di Tingginambut Puncak Jaya.’’Siapapun dia, baik sipil yang menyamar maupun aparat keamanan, akan kamu tumpas dari bumi Papua,’’tegasnya.
Dalam gambar rekaman video itu juga terekam pelaksanaan kongres OPM di wilayah Tingginambut Puncak Jaya, yang dimulai dengan upacara adat Pegunungan Papua, serta upacara pengibaran 3 bendera bintang kejora,simbol Papua Merdeka.
Anton Tabuni juga meminta seluruh bangsa Papua mendukung kemerdekaan Papua Barat, karena tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda dan tidak bisa di tawar lagi. Aparat keamanan indonesia agar segera menyerah dan angkat kaki dari Papua sambil menyuarakan Papau Merdeka.
Kemerdekaan Papua adalah hak segala bangsa maka penjajah diatas Papua harus keluar dari Papua.
Ini adalah pernyataan kemerdekaan bangsa papua’ diselenggarakan di pusat pertahanan Distrik Tingginambut Puncak jaya 31 Juni tahun 2010 Seminggu lalu Kapolda Papua Irjen Bekto Suprapto dan Panglima XVII Cenderawasih Mayjen Hotma Marbun terbang menuju Tingginambut. Kapolda menghimbau Goliat Tabuni dan pengikutnya menyerah. Namun, himbauan itu sama sekali tidak diindahkan. Kelompok OPM terus melancarkan aksi penyerangan.
Sementara itu, dalam kunjungannya ke Sarmi Wakil Gubernur Provinsi Papua, Alex Hesegem SE, mengatakan, untuk mengangkat derajat dan martabat serta menghadirkan kesejahteraan ke atas Tanah dan orang Papua, tidak bisa dilakukan dengan hanya menabur mimpi – mimpi tentang wacana kemerdekaan kepada rakyat Papua.
“Stop mimpi Merdeka lagi, Papua harus sejahtera dalam NKRI, hentikan semua upaya untuk menggalang dukungan dan bicara Papua merdeka di luar negeri, kita harus segera datang ke kampung dan mulai bangun Papua, mulai hari ini,” tegas Wagub dalam wejangannya kepada masyarakat dan kepala kampung se- Kabupaten Sarmi di Pulau Liki dalam kegiatan Turkam-nya Rabu (21/7).
Wagub meminta hendaknya dengan adanya Program RESPEK ini semangat untuk mengangkat harga diri dan martabat orang Papua di kampung harus terus digalakkan, karena menurutnya tidak ada cara lain yang sebaik Program RESPEK, karena dengan program RESPEK maka kemerdekaan dalam artian kesejahteraan dan kemandirian bagi masyarakat kampung adalah sesuatu yang nyata dan bisa digapai, alias bukan mimpi.
“Daripada sibuk berkoar – koar di luar negeri minta Papua merdeka, lebih baik kita semua kembali ke tanah Papua, kembali ke kampung kita masing – masing untuk menggunakan kemampuan dan talenta yang Tuhan berikan untuk membangun kampung kita masing – masing”, kata Hesegem. (jir/amr)

Sumber:
http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6137:kongres-opm-inginkan-papua-merdeka-&catid=25:headline&Itemid=96

Isu Uranium, Pengalihan Isu Kegagalan Otsus


Kamis, 22 Juli 2010 22:42
Isu Uranium, Pengalihan Isu Kegagalan Otsus

Septer Manufandu saat menyampaikan press releasenya Jayapura—Mengemukanya beragam isu akhir-akhir ini di media massa, baik cetak maupun elektronik, seperti Uranium yang diproduksi PT Freeport, pemekaran Provinsi Papua Tengah dan Papua Selatan serta berbagai isu lainnya, menurut Forum Demokrasi (Fordem) Rakyat Papua Barat sebagai upaya upaya pengalihan isu atas aspirasi masyarakat yang menyatakan kegagalan Otsus Papua dan menuntut Referendum. ‘’Pelbagai isu atau gossip yang dihembuskan oleh kaki tangan pemerintah yang tidak bertanggungjawab, untuk mematahkan semangat yang melandasi orang asli Papua mengembalikan Otsus Papua yang kedua kalinya,’’ ungkap Septer Manufandu saat menggelar jumpa pers di Sekretariat Foker LSM Waena Kamis (22/7) kemarin.

Dikatakan, penyebaran isu tersebut dilakukan untuk membangun mosi tidak percaya kepada aktifis atau MRP dan DPRP. ‘’Dengan dibangunnya mosi tidak percaya, maka ini memancing kemarahan rakyat Papua kepada aktivis atau MRP dan DPRP,’’ tandasnya.

Kegagalan Otsus yang menurut Septer Manufandu ditandai perangkat Otsus yang seharusnya bisa menjadi tempat perlindungan hak-hak mendasar orang asli Papua berupa Perdasi dan Perdasus yang tidak dibuat pihak yang berwenang.

Dan berbagai tragedy kesehatan seperti tewasnya puluhan orang di Dogiai akibat kelaparan diera Otsus, menurutnya itu sebagai salah satu parameter kegagalan Otsus.

Karena itu, Fordem mengharapkan adanya satu ruang yang dibuat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di tengah masyarakat dengan melibatkan seluruh komponen bangsa.

‘’Entah itu nanti hasilnya perbaikan UU Otsus atau apa, kami tidak peduli, tapi yang jelas harus dibentuk satu forum yang melibatkan semua stake holder (semua lapisan masyarakat) untuk duduk bersama membicarakan apa yang menjadi permasalahan di tengah masyarakat saat ini,’’ ungkapnya.

Dalam press release Fordem Papua Barat menguraikan dengan panjang lebar tentang berbagai hal, seperti penolakan Otsus yang disebutnya sebagai paket politik, kegagalan otsus dimana di era Otsus justru memarginalkan orang asli Papua, penolakan Raperdasi Raperdasus oleh Pemerintah Pusat, rencana pembentukan MRP untuk Provinsi Papua Barat tersendiri dan berbagai hal lainnya.

Dan pada akhirnya, Fordem Papua Barat yang dipimpin olej Pdt. Dr. Benny Giay mengeluarkan tuju poin berupa pernyataan dan tuntutan.

Poin pertama adalah tentang keberhasilan yang dicapai dalam upaya mendorong proses musyawarah MRP bersama orang asli Papua sampai mengembalikan Otsus yang didalamnya terdapat kendala baik internal maupun eksternal.

Poin kedua, berupa tuntutan untuk dihentikannya segala isu/gosip seperti Uranium, Korupsi, SDM yang rendah dan lain-lain yang bertujuan mengadu domba rakyat Papua.

Poin ketiga, adalah seruan kepada komponen bangsa Papua untuk tidak terprofokasi dengan berbagai isu/gossip tersebut. poin keempat, tuntutan kepada DPR papua dan DPRD Provinsi Papua barat untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil musyawaran MRP bersama orang asli Papua.

Kelima, tuntutan kepada DPRP ada anggotanya untuk konsisten dengan keputusan yang diambil pada 12 Juli 2010 tentang pembentukan Tim untuk membedah Otsus melalui forum ilmiah dengan melibatkan semua pihak.

Keenam, adalah himbauan untuk menghentikan bola liar panas yang dihembuskan oleh Negara Indonesia melalui Democratik Center tentang pembentukan MRP di Provinsi Papua Barat. Serta terakhir, yakni poin ketuju, adalah Negara Indonesia bersama aparatur pemerintahannya, harus menghargai dan memberikan ruang demokrasi yang luas dan menyeluruh bagi orang Papua dalam menyampaikan segala aspirasi yang digumulinya.(cr-10)

sumber:
http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6136:isu-uranium-pengalihan-isu-kegagalan-otsus&catid=25:headline&Itemid=96

BPK Deadline Pemprov 60 Hari


Kamis, 22 Juli 2010 22:30
BPK Deadline Pemprov 60 Hari
Soal Raibnya Anggaran Rp 156 Miliar


Kepala BPK RI Perwakilan Provinsi Papua, Haedar, S.EJAYAPURA—Menyusul temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Papua tahun 2009 dana sejumlah Rp 156 miliar, maka BPK memberikan waktu 60 hari kepada pemerintah Provinsi Papua untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK sesuai ketentuan undang-undang.

Kepala BPK RI Perwakilan Provinsi Papua, Haedar, S.E., melalui Kabib Hukum dan Humas BPK RI Papua, I Made Dharma Sugama Putra, SH., M.M., di kantor BPK RI, Kamis (22/7) kemarin menyebutkan bahwa temuan BPK tersebut lebih banyak pada kelengkapan dokumen dan administrasi.

Oleh karena itu, lanjutnya, untuk menindaklanjuti temuan BPK tersebut sesuai ketentuan perundang-undangan memberikan waktu selambat-lambatnya 60 hari kepada Pemerintah Provinsi Papua setelah menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) untuk dilengkapi dokumennya.

Apabila Pemerintah provinsi Papua dan DPRP, secara sungguh-sungguh menindaklanjuti LHP BPK RI, maka laporan pertanggungjawan pelaksanaan APBD Provinsi Papua akan menjadi lebih baik, yakni mendapatan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Dengan demikian, tambahnya, BPK mengharapkan agar LKPD Provinsi Papua mendapat opini terbaik yaitu WTP. Untuk itu BPK RI berharap agar pemerintah Provinsi Papua dapat menyusun rencana aksi yang mencakup keseluruhan strategi dan tindakan implementasi dengan pengalokasian sumber daya secara profesional dan optimal serta mempersiapkan faktor penunjang yang diperlukan, dengan tujuan agarLKPD tahun 2010 dan tahun berikutnya dapat memperoleh opini WDP sesuai harapan masyarakat.

Untuk mewujudkan rencana aksi tersebut, ujarnya, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi, tetapi perlu dukungan DPRP, untuk itu BPK RI juga mengharapkan DPRP dapat menindaklanjuti LHP BPK RI.

“Agar pembahasan lebih fokus, DPRP dapat membentuk alat kelengkapan seperti halnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) di DPR RI atau Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) di DPD RI,” sarannya.

Sementar itu terkait dengan pemberitaan media ini edisi Selasa (19/7) lalu yang menyebutkan “Dana Rp156 miliar sulit dilacak”, BPK dalam keterangannya tidak menggunakan istilah dana Rp 156 miliar melainkan asset tetap berupa peralatan dan mesin senilai Rp 23,91 miliar dan tanah senilai Rp4.93 miliar kemudian belanja modal kepada pihak ketiga berupa asset tetap pemerintah provinsi Papua senilai Rp127.57 miliar. “Itu merupakan item-item temuan yang berbeda sehingga tidak bisa disatukan atau ditotalkan, karena dapat menimbulkan penafsiran berbeda di masyarakat. Kami juga meminta klarifikasi Rp 127 miliar yang ke Papua Barat, serta kata sulit melacak, karena BPK tidak pernah menggunakan istilah itu,” tandasnya. (hen)

sumber:
http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6135:bpk-deadline-pemprov-60-hari&catid=25:headline&Itemid=96

DPRP Ancam Tolak RAPBD Papua Senilai Rp 1 Triliun


Kamis, 22 Juli 2010 22:36

DPRP Ancam Tolak RAPBD Papua Senilai Rp 1 Triliun
Jika Disahkan Tanpa Dilakukan Pembahasan


Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai SIP JAYAPURA—Adanya sinyal bahwa RAPBD tahun 2011 senilai Rp 1 triliun dipaksakan untuk segera disahkan tanpa dilakukan pembahasan secara menyeluruh dan melibatkan mitra kerjan namun, akan ditolak DPRP.

Hal ini disampaikan Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai SIP saat dikonfirmasi Bintang Papua di ruang kerjanya, Kamis (22/7) terkait agenda DPRP untuk membahas RAPB Provinsi Papua tahun anggaran 2011 yang sedianya digelar Kamis (22/7) pagi kemarin terpaksa mengalami penundaan. Hal ini disebabkan masih terjadinya silang pendapat antara pimpinan dan anggota DPRP menyangkut waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pembahasan tersebut. “Saya jelas tolak karena pembahasan RAPB butuh waktu panjang agar dapat diketahui program kerja dan sasarannya kepada rakyat. Tak bisa dipaksakan untuk disahkan dalam waktu satu atau dua hari, tapi membutuhkan waktu panjang,” ujarnya.

Kerena itu, katanya, pihaknya mengusulkan agar pembahasan RABP dibahas selama 2 sampai 3 minggu serta melibatkan mitra kerja tanpa adanya intervensi dari lembaga manapun. “Anggaran ini mau dipakai kepada siapa harus jelas peruntukannya. Ini tugas pengawasan yang mesti dilakukan DPRP,” jelasnya.

“Pembahasan RAPBD tak bisa dipaksakan disahkan dalam waktu satu atau dua hari tanpa sasaran kepada rakyat serta dikoordinasikan dengan mitra kerja DPRP. Saya tolak apabila pembahasan RAPB disahkan dalam waktu satu atau dua hari karena hal ini membutuhkan alat ukur penetapan anggaran yang bernilai triliunan,” tukasnya.

Sedangkan terkait LKPJ Gubernur tahun 2009, menurutnya, intinya adalah catatan penemuan berdasarkan hasil audit BPK Perwakilan Provinsi Papuya dan temuan hasil kunjungan kerja DPRP ke masing masing Daerah Pemilihan (Dapil) merupakan catatan penting bagi Gubernur. Selanjutnya ia memberikan persetujuan untuk proses perbaikan kepada masing masing SKPD. Politisi Partai Demokrat ini mengutarakan, apabila hal ini tak mampu dipertanggungjawabkan, maka Gubernur tinggal minta untuk dilaporkan kepada aparat hukum. “Sampai dengan waktunya tak beri penjelasan, maka kami minta aparat mengambilalih untuk proses hukum,” tandasnya. (mdc)

Sumber:http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6134:dprp-ancam-tolak-rapbd-papua-senilai-rp-1-triliun-&catid=25:headline&Itemid=96

Selama ini Tidak Jelas Mana Dana Otsus dan Mana APBD

Kamis, 22 Juli 2010 22:24
Ketua Komisi C, Soal Pengelolaan Anggaran di Papua (bagian 2/habis)
Selama ini Tidak Jelas Mana Dana Otsus dan Mana APBD


Ketua Komisi C yang membidangi Anggaran dan Perencanaan Pembangunan pada DPRP, Carolus Bolly, mrngatakan, soal bentuk badan otorita pengelola dana otsus dan formulasinya akan seperti apa nantinya, hal itu akan diatur kemudian, yang masih dibutuhkan saat ini adalah pikiran dan masukan dari semua pihak di Papua, terutama pakar dan yang berkompeten, untuk duduk bersama merancang aturan pemisahan pengelolaan dana otsus dari APBD, dan bersama-sama mendorongnya pada pemerintah pusat,” sambungnya.

Oleh : Hendrik Hay

Ia berpendapat, hal ini baik untuk dilakukan, mengingat jika unsur penting dalam masyarakat Papua tadi duduk bersama dalam mengelola dana otsus, mereka relatif lebih tahu apa yang dibutuhkan masyarakat.

Sebagai contoh adalah Kalau tokoh agama ada disitu duduk satu meja, mereka lebih tahu apa yang mau dibangun untuk bidang keagamaan tahun ini, kemudian juga kalau institusi pendidikan juga ada disitu, tentu lebih paham apa yang harus dibuat untuk pendidikan di Papua. Demikian juga unsur-unsur lain yang telah disebutkan tadi.

“Jadi biarkan mereka bekerja dengan supervisi pemerintah dari sisi regulasi,” ujarnya.

Meski demikian, Carolus Bolly juga ingatkan kalau badan/lembaga otorita pengelola dana Otsus itu tidak kebal hukum, dan tetap mendapat audit dan diperiksa oleh BPK, sehingga harus tetap bekerja sesuai rambu pengelolaan keuangan Negara.

Selama ini, tidak jelas mana yang merupakan dana Otsus dan mana termasuk APBD, sangat sulit dideteksi. Padahal sesuai amanat UU Otsus, dana yang bersumber darinya hanya untuk membiayai empat hal pokok yakni Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur dan ekonomi kerakyatan.

Selain itu, penggunaan dana otsus dan APBD yang disatukan, juga telah berdampak pada melempemnya kreasi eksekutif dan legislatif daerah untuk berkreasi mencari tambahan dana.

“Padahal seharusnya kalau pemerintah butuh tambahan dana, maka harus berkreasi di Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Bagi Hasil misalnya. Selama ini itu tidak berjalan, karena ada dana otsus maka kreasi pemerintah mati, sebab tanpa diusahakan juga akan turun uang. ibarat ‘Duduk tunggu uang datang’,” jelas Carolus Bolly.

Carolus yang juga pelaksana harian ketua DPD Partai Demokrat Papua, optimis kalau wacana pemisahan pengelolaan dan pengelola dana Otsus dan APBD itu terwujud, maka dengan sendirinya pemerintah dan legislatif juga akan berkreasi dengan APBDnya, dan kepercayaan masyarakat pada pemerintah akan semakin kuat.

“Sekarang ini masih kacau balau. Contoh kecil saja yakni tidak jelas proyek itu dibiayai APBD atau dana Otsus,” ungkapnya.

Gagasan yang diusulkan oleh DPRP ini, ternyata juga mendapat sambutan baik oleh pihak pemerintah (Eksekutif) Provinsi Papua.

Melalui kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Papua, Achmad Hatari saat menghadiri rapat pembahasan anggaran di DPRP, Jumat (16/7), juga telah memberikan sambutan baik dengan, mendukung pemisahan pengelolaan dan pengelola dana Otsus dan APBD, asalkan ada dasar hukum pelaksanaannya.”Jadi pada prinsipnya pemerintah provinsi Papua mendukung gagasan dewan itu,” kata Achmad Hatari sebagaimana dikutip Carolus Bolly.

DPRP sendiri, telah sepakat dengan pemerintah untuk bersama membentuk tim, guna mendorong terwujudnya cita-cita luhur itu, dan intinya pemerintah sudah sambut baik adanya keinginan kuat dari kita,” katanya lagi.

Kalau itu sudah bisa terwujud, maka besar harapan legislatif dan eksekutif Papua bahwa sudah bisa penuhi sebagian kecil dari keinginan rakyat Papua dalam era Otsus, guna kesejahteraan mereka dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masih terkait hal sama, Ketua Komisi A, yang membidangi Pemerintahan Umum dan Keamanan, Ruben Magay juga mengatakan sangat mendukung usulan pemisahan pengelolaan dan pengelola dana Otsus dari APBD. Politisi asal Pegunungan Papua ini mengatakan, semua di Legislatif Papua memang sepakat mendukung terwujudnya hal itu, karena merupakan permintaan rakyat.

Dan kedepannya juga, Konsepnya seperti apa yang berhasil dibuat dari Papua, akan diusulkan juga untuk saudar-saudara di Provinsi Nanggroe Aceh Darusallam, sebagai provinsi yang sama-sama berstatus otonomi Khusus (Otsus).

Sejak menjadi provinsi yang berstatus otonomi Khusus pada tahun 2001 silam, sesuai amanat UU nomor 21 tahun 2010, jumlah dana otsus yang diterima provinsi Papua, hingga saat ini mencapai kurang lebih Rp 20 Triliun.

Besaran dana yang diterima, tapi tidak sebanding dengan kesejahteraan masyarakatnya, telah membuat banyak kali terjadi demonstrasi menuntut transparansi pengelolaan keuangan di Papua, bahkan sebagian masyarakat yang sudah tak percaya dengan eksekutif justru meminta referndum.***

sumber:
http://www.bintangpapua.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6132:selama-ini-tidak-jelas-mana-dana-otsus-dan-mana-apbd&catid=25:headline&Itemid=96